Kali ini, saya berpikir apa sebenarnya dibutuhkan
oleh anak-anak kita. Yang tentunya tanpa kaitan makanan dan minuman. Saya
mengajar di TPA (Taman Pendidikan Al-Qur'an) dan SMA menuai ragam kehidupan
bersama mereka. Terkadang ada bisikan-bisikan hati mereka, jeritkan yang sulit
dipecahkan dan harusnya posisi keguruan itu bisa memberikan semacam solusi.
Namun, hal itu kadang rumit. Karena itulah, izinkan saya menarasikan suara
anak-anak kita. Mewakili bagaimana suara hati, jeritan mereka, yang lebih
dibutuhkan ketimbang mengonsumsi materi pelajaran.
"Pak, saya adalah anak yang kurang
mendapatkan sentuhan kasih dari orang tua. Ibu dan bapak saya hanyalah
mementingkan dunia karir. Saya tahu, sesungguhnya perkerjaan itu adalah untukku
juga. Namun, pada saat yang bersama, orang tuaku lupa, bahwa mereka telah
menelantarkanku, mereka lupa menyuapi kasih sayang padaku. Sesungguhnya suapan
uang hanya berdampak pada fisik saya, Pak. Membesarkan daging-daging yang
menempel di tulang diri ini. Namun, apalah arti jika tubuh besar, tetapi hatiku
kecil, lantaran kita bagaikan air dan minyak. Dimana bapak dan ibu saat saya
membutuhkan kasih sayang? Selepas pulang kerja, tidak ada usapan cinta di dahi
ini. Waktu pulang ke rumah dan menuju kamar sebagai pelepas penat saja. Usailah
diri saya.
Bapak dan ibu lebih mementingkan karir.
Sementara bapak dan ibu lupaaa!
Bahwa KARIR TERBESAR DI KELUARGA. Family
is carier.
Saya selalu mengolah perasaan ini agar
tidak terlalu sedih dengan cara mencari teman di kelas. Lebih erat rasanya
bersama mereka. Serasa teman itu orang tua saya. Mereka mengusap air mata saat
kesedihan menimpa. Mereka menceriakan ketika momen gembira datang. Sekali lagi,
dimana Bapak dan Ibu saat itu?
Mengapa profesi orang tua diambil sahabat
saya?
Kembalilah, Pak. Peluk diri ini,
Bu!
Saya cinta kepadamu. Meskipun susah sekali
memahamkan hal itu kepadamu. Saat engkau kerja, lupa saya sampaikan dengan
menyalami tanganmu. Engkau lebih dahulu melangkahkan kaki menuju medan karir.
Ketika itu, mengolah hati ini begitu rumit, hingga kepulangan sekolah masih
tersimpan kegalauan itu.
Setiap berdo'a saya mengeksplorasi nama
Ibu dan Bapak agar aku berbakti selaku anak. Saya menyebut-nyebut kebaikan
bagimu. Dan itulah proposal bakti saya kepadamu.
Menyita waktu untuk medo'akanmu bukan hal
berat. Justru, perkara yang ringan. Yang berat adalah cintamu sukar menyapa
saya.
Artikulasi kata-katamu tiap hari
'memojokkan' saya. Seolah-olah saya ini TKI. Bukan, Pak! Bukan, Bu!
Saya ini buah hatimu. Yang engkau idamkan
saat kelahiran. Tetapi, stamina 'ayah' rasanya tak sama di hari-hati awal
kelahiran saya. Dimanakah 'stamina' itu sekarang?
Bukankah representasi 'ayah dan ibu'
adalah 'mencintai' sepanjang masa?
Bu, Pak, saya sekali lagi menyatakan
proposal cinta saya. Karena ujian kehidupan ini berat, tolong genggam erat
tangan saya, Bu, Pak. I love You."
21 Februari 2012
0 comments:
Post a Comment
Silahkan diisi, komentar Anda sangat membangun: بارك الله فيك