"Ibuku ruang baktiku."
Adalah kesalahan bagi pribadi ini. Tatkala melayani manusia dan tidak melayani sosok paling fundamen dalam kehidupan saya: ibu. Apa jadinya jika saya menolak hari ini pinta ibuku? Apa dasar saya tidak menggubris harapan ibuku?
Hmm..
Hari ini, selepas shalat subuh tadi, ibu bertutur,
"Nandar, mau ikut jalan-jalan subuh?"
Saya tahu, tuturan itu bermaksud "kewajiban" untuk melayani pinta orang tua. Yang sebenarnya bisa ditolak. Namun, apalah arti kehidupan saya, jika setiap harapan orang tua, pada saat itu pula "menolak"? Dimana posisi berbakti saya? Setidaknya menemani "melangkah" saja di sepanjang jalan?
Ah, malu rasanya, perih terpendam jika tidak mengindahkan maksudnya.
Mempersiapkan seragam, yaitu kaos oblong dan celana petolun sebagai bingkai fisik saya. Dan ibu tercinta mengenakan jilbab ungu. Terasa ingat masa kecil saya, yang dulunya bersama kakak menelusuri jalan-jalan sempit. Namun, setelah berkeluarga, rasanya kata "pisah" harus dilakoni. Kini tinggal berdua: Saya dan ibuku tercinta.
Mudah-mudahan dapat status "anak berbakti" dari perjalanan itu.
Hmm..
Hanya mengenakan alas sendal. Perjalanan kami bukanlah "lari maraton", yang menyita tenanga ekstra. Hanyalah setapak kaki menelusuri putaran jalan dekat kompleks rumah.
Sembari melihat-lihat, melirik keadaan lingkungan. Ibuku posisi terdepan, saya hanya mengekor di belakang. Paling tidak "menjabat" sebagai saptam pengaman "ibu". Siapa tahu ada mobil yang "ugal-ugalan" sehingga menabrak tubuh ibuku.
Panjang betul perjalanan ini, kurang lebih 4 km. Menyita keringat bagi ibu, sementara saya tak mengeluarkan "tetes keringat" pun sedikit. Yang timbul hanyalah "rasa lapar". Entah mengapa, setiap pagi hari, kerap keluhan mengarah kepada kata "lapar". Apakah ini tanda "maag"? Entahlah, yang pastinya rasa itu harus dipendam. Kalau dibicarakan pada ibu, pasti yang diucapkan,
"Ayo pulang cepat!"
Sehingga tak ada lagi "romantisme" bersama ibu, karena dipotong oleh keluh kesah saya.
Matahari masih disembunyikan gelap malam. Warna kecerahan sedikit lagi menyapa pagi. Sudah banyak sejarah terukir saat itu.
Perhatikan saja,
Menelusuri perjalan pulan, seolah-olah melewati kompleks yang baru saja diterpa tsunami. Namun, kali ini bukan tsunami Aceh, hanyalah "becek" yang tergenang. Membuat sandal ibuku harus ternodai lumpur. Saya sendiri tertimpa "putus sandal". Efeknya harus "mengangkat sandal". Berjalanlah hanya menggunakan kaki.
Untunglah ibu memberikan kabar gembira.
"Kamu sehat itu, tidak kena rematik!" sembari tersenyum simpul ibu tertutur. Pasalnya jalan itu berbatu-batu kecil. Bagaikan memakai sandal rematik. Tetapi, ini yang alami.
Hmm.
Hampir tiba di rumah.
Menyisakan soal baru. Mengingatkan saya seorang sosok fundamental: "Uwais Al-Qorni".
Menurut berita rekan saya, beliau adalah tokoh yang terkenal baktinya kepada ibunya. Seolah-olah membuat saya berpikir, apakah baktiku seimbang dengan pola baktinya?
Saking getolnya iya berbakti, kalau ia berdo'a, maka doanya "pasti" dikabulkan. Membuat saya bertanya-tanya, apa sebenarnya ia lakukan? Hingga doa tidak tertolak gara-gara
bakti kepada ibu?
Coba dengarkan ini, Rasulullah pernah bercerita,
"Sungguh, kelak ada orang yang termasuk tabi'in terbaik yang bernama Uwais. Dia mempunyai seorang ibu, dan dia sangat berbakti kepadanya. Sehingga, kalau dia mau berdoa kepada Allah, pasti Allah akan mengabulkan do'anya. (HR. Muslim)
Wow, inikan amazing. Luar biasa.
Wong saya sendiri tidak ada jaminan tatkala berdoa, langsung dikabulkan. Sehingga, timbul lagi di benak saya. Adakah contoh konkrit baktinya kepada ibu?
Saya tiba-tiba kaget dan terperangah membaca napak tilas Uwais al-Qarni ini,
Rosululloh bersabda, artinya,
"Dia pernah memiliki seorang ibu yang lemah lagi tua renta. Suatu saat datang pembawa peringatan yang mengatakan bahwa musuh akan menyerbu malam ini. Maka dia pun pergi dengan menggendong ibunya. Jika dia lelah, maka dia meletakkannya. Dia menempelkan perutnya pada perut ibunya dan menjadikan kakinya di bawah kaki ibunya agar kaki ibunya terhindar dari batu, hingga akhirnya dia selamat'."
(Hadits mursal. Lihat Syu'ab al-Iman, 10/311.)
Subhanalloh.
Belum berimbang rasanya "perjalanan" tadi. Membuat saya malu tidak semaksimal "Uwais al-Qarni". Namun, tidak ada kata terlambat. Saya berusaha selalu menemani ibu untuk membuat cinta.
Lebih baik memulai dari sekarang. Berusaha meneladani sosok itu. Yang kemudian merubah diri ini. Ibuku sudah lanjut usia. Adakah maaf bagiku?
Sementara Alloh berfirman,
"Dan apabila keduanya telah lanjut usia atau salah satu dari keduanya, maka janganlah kamu mengatakan kepada mereka berdua "ah" dan jangan kamu menghardiknya, dan katakanlah ucapan yang baik. Rendahkan sayap kehinaanmu di hadapan keduanya dan katakanlah: 'Wahai Rabbku, berikanlah kepada keduanya kasih sayang sebagaimana dia berdua telah memeliharaku semenjak kecilku.'" (Al-Isra`: 24)
10 Februari 2012
Wednesday, January 9, 2013
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment
Silahkan diisi, komentar Anda sangat membangun: بارك الله فيك