Wednesday, January 9, 2013

Belajar 'Galau' dari Anak yang 'Memukau'

Malam ini serasa baru keluar dari penjara. Bukan artinya saya ini tahanan. Melaikan komputer yang saya fungsikan saat ini -alhamdulillah- tidak terlalu heng. Sebenarnya masih kerap 'tersandung' dan 'mulus' berakses. Namun, satu hal harus menjadi habit: membagi. Rasanya sangat kurang jika dalam sehari tidak ada naskah tertuang di kolom-kolom penulisan. Karena itulah, saya sangat berharap kepada rekan-rekan pembaca agar menulis dengan konten kebaikan, agar bisa menyebarkan pahala pula. Amin. Jangan buat status 'abu-abu' yang menimbulkan ragam persoalan.

 Kali ini, narasi saya terkait seorang anak. Selepas shalat isya tadi, bertemu dengan anak ini bak kembali menceriakan hati saya. Anak ini sungguh lain dari rekan sejawatnya. Apapun masalah anak ini, barangkali susah untuk mengeluh. Mengapa?

 Setiap kali saya bertemu, sembari menyapanya, selalu saja ia MELEPASKAN SENYUM. Bayangkan, ini seorang anak kecil. Taksiran 3 SD. Yang kita liat sejawat mereka sudah dirundung pula 'galau'. Iya.

Cobalah dengarkan apa konotasi harian mereka saat berkomunikasi?

 "Pak, saya belum kerja PR!"

"Bu, makanannya tadi kurang enak"

"Ummi, uang jajannya kuraaaang!"

"Abi, kakak sangat egois!"

 Nah, inilah fakta di depan kita. Kegalauan masih menduduki rating tertingi saat berkomunikasi. Masih anak kecil lagi. Bagaimana masa depan mereka jika ini menjadi tabiat (kebiasaan)? Kita bisa bayangkan apa yang terjadi di masa depannya. Fenomena ini mengingatkan saya pada kisah sahabat Nabi -shallallohu 'alayhi wasallam- saat mengeluh yang kemudian berimbas syaiton membesar. Maka, Rosululloh -shallallohu 'alayhi wasallam- mengajarkan mereka mengucapkan basmalah (bismillahirrohmanirrohim). Maka syaiton pun mengecil. Subhanalloh, begitu besar peranan kalimat basmalah ini.

Atas dasar itulah, kita berharap ketika menimpa kegalauan, ungkapkanlah basmalah.

 Kembali ke awal. Lain pula si anak murah senyum ini. Galau sangat susah menyapanya. Yang nampak ialah olah bibir menceriakan pihak lain. Kalaupun dimarahi di saat mengaji, pun kembali tersenyum. Sangat plong suasana hati melihat gerakan bibir tersenyum itu. Sangat memukau.

 Menarik kita melihat penuturan Rosululloh -shollallohu alayhi wasallam mengenai ini:Dari Abu Dzar radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa alihi wasallam bersabda: "Janganlah engkau menganggap remeh kebaikan sekecil apapun, walaupun bertemu saudaramu hanya dengan wajah yang berseri-seri". (HR. Muslim no. 2626)

 Penjelasan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin rahimahullah berkenaan dengan  hadits diatas:

Apabila seseorang berjumpa dengan saudaranya sesama muslim, maka sudah sepatutnya ia menampakkan kegembiraan dan wajah yang berseri-seri serta bertutur kata yang baik, karena perbuatan yang demikian ini merupakan akhlaqnya Nabi shallallahu 'alaihi wa alihi wasallam. Perangai seperti ini tidaklah dianggap menurunkan kewibawaan seseorang, melainkan akan mengangkat derajatnya, mendapatkan balasan serta pahala di sisi Allah Ta'ala. Hal ini sebagai bentuk ittiba' (mengikuti) sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa alihi wasallam, karena sesungguhnya beliau orang yang selalu banyak senyum.

 Seorang muslim sudah sepatutnya menampakkan wajah yang berseri-seri ketika berjumpa dengan saudaranya dan bertutur kata yang baik, hal ini diupayakan demi memperoleh pahala, kecintaan dan kasih sayang dari saudaranya serta menjauhi sifat sombong dan menganggap dirinya lebih tinggi dari hamba Allah yang lain. Kemudian Al-Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan firman Allah Ta'ala:

 "Dan berendah hatilah kamu terhadap orang-orang yang beriman". (Al Hijr: 88)

 Berendah hati dalam ayat di atas yakni bersikap lembut dan tawadhu' terhadap kaum mu'minin (bukan rendah diri atau minder, -pen), karena sesungguhnya seorang mu'min amat pantas diperlakukan demikian.

 ***

Sungguh, pertemuan malam ini, mengajarkan saya bahwa apapun kondisi kita terkait keadaan hati, tetap hadapi dengan 'senyuman'. Stamina 'menyemangati' dan 'bersenyum' harus memanten pada diri kita. Agat tampil sebagai hamba yang paripurna.

 26 Februari 2012

0 comments:

Post a Comment

Silahkan diisi, komentar Anda sangat membangun: بارك الله فيك