"Jika tulisan bersama air mata, maka pembaca akan
menangis.
Jika tulisan bersama kekecewaan, maka pembaca akan
kecewa.
Jika tulisan bersama gembira, maka pembaca akan
gembira."
Itulah beberapa teori kausalitas dalam tulisan.
Sehingga tidak terkategoriakn orang yang menulis dalam keadaan "terpaksa" lalu
mengharap orang membacanya dalam keadaan bersedih.
Dari sekian banyak teori kepenulisan, saya lebih
pro dengan motivasi "menulislah". Ketimbang tematik teknis kepenulisan.
Dari motivasi penulisan, saya lebih simpatik
dengan teori situasional. Apa maksudnya?
Sudah 1/2 tahun saya membaca buku penulisan, saya
kerap mendapkan teori pemaksaan. Apa contohnya? Saya selalu saja diseret dalam
lingkup bukan disiplin ilmu saya. Ambil cotoh menulis dalam bidang cerpen. Tentu
saja, kita yakin, seseorang bergerak bukan karena dipaksa, melainkan panggilan
hati. Nah, hati saya belum bisa ke bidang itu. Tetapi, ada sebuah buku sempat
saya beli di toko kolega saya. Bukunya mengajak kepada pengertian penulisan
bahwa yang merangsang seseorang itu menulis adalah "sensitifitas" dalam keadaan
sekitar. Seseorang yang dilingkungann terjadi ketidaknormalan, maka tentu saja
amar ma'ruf harus ditegakkn, salah satunya dengan dakwah. Seseorang yang melihat
kesyirikan terjadi di rumahnya, pun hendaknya berdakwah.
Hal ini sama dengan metode menulis, menulis
adalah kegelisahan hati melihat keadaan sekitar. Jangan takut! Mengapa? Karena
yang takut itu adalah mereka yang tidak berani menulis, dengan asumsi belum
"mahir", belum "terbiasa", apalagi dengan alasan belum dapat materi "penulisan."
Sungguh menyedihny!
Tulisan saya terposting ini, bukan tulisan edit
yang berbulan-bulan, melainkan hanya sekitar 8 menit saja (wallohu a'lam). Saya
menulis karena merasa peka saja dengan kondisi kekinian ini. Terfokus pada
tematik dunia penulisan, karena saya juga "senang" menulis. Layaknya saya senang
membaca.
4
Agustus 2011
0 comments:
Post a Comment
Silahkan diisi, komentar Anda sangat membangun: بارك الله فيك