"Seperti pernah dikutip Koran Tempo,
survei Imperial Cancer Research Fund (ICRF) menunjukkan bahwa, 4 dari 10 orang
memilih toilet sebagai tempat favorit untuk membaca. Pria menjadi pemilih
terbanyak, 49 persen. Wanita hanya 26
persen."
(Harefa, Andrias, 2010:
166).
Suatu ketika pula, saya menulis di Wall FB. Kira-kira
seperti ini:
Andaikan
perpustakaan ada di WC.
#Pikiran
Gila
Hebohnya rekan
menimpali:
Benar-benar
gila
Nah, kali ini saya coba mengangkat ucapan itu, apakah
ada penjelasan lain terkait seseorang yang menggunakan waktunya untuk membaca di
WC.
Dari dulu sebenarnya hal ini hendak saya bagi,
bagaimana seseorang itu menggunakan waktu tidak sia-sia. Memanfaatkan menyelami
ilmu meskipun situasi yang cukup 'genting'. Karena itulah, perkara bacaan ini
selaku wahana mencari pengetahuan harusnya dialokasikan sebaik mungkin,
dimanapun, kapanpun.
Penembatan lokasi bacaan memang memerlukan situasi yang
nyaman, repfesentafi, enjoy, dan santai. Salah satunya di Water Closed (WC).
Tempat inilah seseorang itu yang lumrah hanya diam, memikirkan masa lalu,
hendaknya diralat mengarah kepada kebaikan. Jangan hanya menghabiskan waktu 30
menit, bahkan 1 jam berdiam di WC tanpa ada pengetahuan diperoleh. WC yang
diklaim tempat kotor, tidak berarti 'melarang' kita mencari ilmu. Yang ada
larangan adalah berbicara. Karena itulah, membaca disarankan dalam hati
saja.
Saya menyarankan demikian, bukan karena sebatas 'hal
aneh'. Namun, dalam aplikasinya saya lakoni juga. Bayangkan saja, di WC tempat
kerja, sebelum membuang toksin, pra-kepergian, saya sudah menenteng buku. Dan
membacanya saat duduk di toilet. Ini lebih aman persepsi saya, ketimbang tanpa
buku dibaca, sehingga yang diperhatikan hanyalah warna cat tembok, ember, air
kran yang mengalir, yang semua sudah jamak kita lihat setiap membuang toksin
ini. Harus ada perombakan. Di sini pula (WC) adalah tempat paling tenang,
sementara saya orangnya auditory, tidak bisa diganggu oleh keributan. Bacaan
adalah kesempatan mengaktualisasikan rasa
keingintahuan.
Karena sekali lagi, dengan adanya bacaan ini, akan
meluaskan wahana literasi kita, berselancar bersama puluhan, ratusan, bahkan
mungkin ribuan kata-kata.
Ada contoh yang bisa kita dengar dari Hasanuddin, ia
mengatakan:
"Saya adalah seorang pembaca yang selalu
memanfaatkan WC sebagai tempat berselancar bersama puluhan, ratusan, bahkan
mungkin ribuan kata-kata. Sebenarnya, kalau mau jujur, perilaku saya ini sering
mendapat ejekan dari teman-teman satu kos."Ih, ke WC kok bawa buku" Begitu
kira-kira bentuk keirian mereka pada saya. Saya pun hanya tersenyum, dan tak
menanggapinya dengan kata-kata."
Inilah satu ikon pecinta bacaan, hingga mendapat cemooh
dari beragama kawan. Tapi, tak menyurutkan semangat menuntut ilmu dia. Jadi,
tidak ada lagi alasan saat ditanya, "Mengapa tidak membaca?" Sementara banyak
prasarana bisa difungsikan. Salah satunya:
WC.
Ada pula Agus Hermawan (seorang Kompasianer) yang
mengatakan,
"Saat itu pagi-pagi sekali, setelah solat
subuh, sebelum melakukan aktivitas pelatihan di hotel ini juga, saya membaca
sebuah buku yang sangat menarik. Saking menariknya ketika saya didesak oleh
"sesuatu" yang memaksa harus berada di toilet, buku ini pun dibawa agar tuturan
menarik dari si penulis tidak terputus sebelum akhir
bab.
Maka, jadilah saya boyong buku ini ke
toilet, alhamdulillah sekira sepuluh menit keberadaan di toilet paparan dalam
bab dimaksud tuntas dibaca. Akhirnya, bab yang sangat menarik dan sulit untuk
diambil jeda pun tuntas, rasa penasaran terhadap bab inipun
sirna."
Itulah persepsi Agus, bahwa bacaan apabila terkandas.
Maka bisa dijadikan toilet menjembatani penasaran itu. Sebab itu, menarik agar
memanfaatkan toilet sebagai sarana 'pencangkokan' ilmu
pengetahuan.
Ada beberapa etika
yang harus dikenal saat membaca di toilet:
1. Jangan membawa buku yang mengandung ayat al-Qur'an,
bahkan jangan membaca al-Qur'an.
2. Tidak boleh membaca sambil mengucapkan redaksi
katanya.
3. Jangan membaca ditempat WC gelap. Tentu saja, karena
tidak akan terlihat apa yang Anda
baca.
4. Tidak membaca dengan menggerakkan kepala. Karena
yang tepat, membaca menggerakkan bola
mata.
5. Jangan membaca terlalu dekat. Bisa menimbulkan
hipermetropi. Cukup jarak +/- 25 cm.
6. Jangan membaca terlau lama. Sebab membaca terlalu
lama, identik duduk terlalu lama. Akibatnya menyebabkan meningkatnya bantal
anal, yang akhirnya dapat menyebabkan wasir dikemudian
hari.
7. Bersihkan dan flush toilet terlebih
dahulu.
Ah, rasanya sudah waktunya mencari tempat strategis ini
sebagai 'salah satu' lokasi tenang dan enjoy. Dan harapan terbesar saya, impian
klimaks adalah semoga ada 'perpustakaan' di WC. Banyak tatanan buku mengisi
ruang-ruang WC. Sehingga, tak ada kata 'malas' untuk menyelami ilmu lagi. Tetap
inspiratif.
17 Februari 2012
0 comments:
Post a Comment
Silahkan diisi, komentar Anda sangat membangun: بارك الله فيك