"Buku
adalah pengusung peradaban. Tanpa buku, sejarah menjadi sunyi, sastra bisu, ilmu
pengetahuan lumpuh, serta pikiran, dan spekulasi mandek."
(Barbara
Tuchman)
Tinggi
dan majunya peradaban suatu bangsa selalu ditandai atau linear dengan produksi
buku. Kemajuan peradaban Yunani, Islam, India, dan Cina disebabkan keterkaitan
mereka dalam kelanjutan produksi dan distribusi ilmu pengetahuan. Dengan kata
lain, keterkaitan budaya. Yunani merupakan peletak dasar yang menempatkan buku
sebagai bagian dari distribusi budaya. Dengan kata lain peradaban buku mulai
dibangun oleh Yunani. Kemudian disusul oleh negara-negara di
atas.
Deal
or no deal,
India yang saat ini menjadi raksasa ekonomi suatu saat akan menggeser raksasa
Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Jerman, dan Jepang. Hal ini terwujud karena
India telah membangun pondasi sejak lama untuk menuju masa keemasan dan beberapa
tahun ke depan. Negara tersebut memiliki tradisi kuat yang berbasis pada dunia
perbukuan. Saat ini, India merupakan negara produsen buku terbesar di dunia dan
tradisi membaca dan menulis masyarakat tersebut telah menjadi tabiat paten.
Dengan demikian, tercipta iklim yang kondusif bagi pengembangan ilmu dan suatu
saat akan mencapai titik klimaks.
Bagaimana
dengan negara kita?
Masalah
penting rakyat Indonesia yang senantiasa bergejolak dan semakin besar adalah
mengapa kita terus saja terbelakang dan tercecer dalam derap kemajuan
bangsa-bangsa lain. Indonesia yang mendapat urutan ke empat terbesar di muka
bumi (Sensus Tahun 2004: 238 juta jiwa) mengalami krisis distribusi ilmu.
Semestinya dengan jumlah penduduk sebesar itu, merupakan ladang pangsa buku yang
sangat besar, apalagi lebih 80% dari penduduk Indonesia bisa membaca dan
menulis. Namun, sangat disayangkan jumlah judul buku yang diterbitkan setiap
tahunnya sangat sedikit, hanya 7.000 judul setahun. Bandingkan dengan Amerika
Serikat yang jumlah penduduknya tidak terlalu jauh berbeda (Data 2004: 294 juta
jiwa) mampu menerbitkan 75.000 judul buku. Belum lagi Malaysia yang memiliki
penduduk tidak sebesar penduduk Indonesia, ternyata mampu menerbitkan 15.000
judul per tahun.
Juga
Brunai Darussalam yang berpenduduk hanya 500 ribu jiwa atau 1 kecamatan di
Kepulauan Jawa, ternyata mampu menggerser Indenesia sebagai negara produktif
dalam menulis karya ilmiah pada lingkup internasional yang dihitung dengan
penerbitan karya ilmiah atau tulisan pada jurnal.
Kendala
Budaya Menulis
Salah
satu kelemahan mendasar yang telah diidentifikasi sebagai biang adalah budaya
budaya menulis sangat rendah dalam perbukuan di Indonesia. Selalu saja orang
berargumentasi perlu bakat untuk menorehkan pena. Sesungguhnya asumsi demikian
tidak perlu berlarut-larut. Setiap orang pada dasarnya bisa menulis. Menulis
makalah, menulis puisi, menulis surat pembaca, menulis naskah pidato, menulis
ringkasan kuliah, menulis laporan praktikum, menulis bahan presentasi, dan
sebagainya menunjukkan bahwa orang tersebut punya "bakat" menulis. Persoalan
menulis tidak terletak pada bakat, tetapi lebih pada masalah mental atau
komitmen yang tidak pernah terbangun. Singkirkan anggapan bahwa menulis itu
sulit. Yakinlah bahwa semua orang bisa menulis. Apapun bisa dipelajari termasuk
menulis buku. Kuncinya terletak pada kemauan. Dimana ada kemauan, disitu ada
jalan. Oleh karena itu, ada anggapan bahwa jika kita sudah bisa berbicara, maka
itu artinya kita sudah bisa menulis.
Persoalan
kedua yang membuat orang enggan menulis adalah kesibukan atau tidak punya waktu.
Waktu memang menjadi persoalan bagi orang yang sibuk, namun asal ada kemauan
yang kuat, persoalan waktu bisa diatasi. Asalkan sesorang mengelola waktunya
secara efektif, maka sesibuk-sibuknya seseorang pasti dia punya waktu luang
untuk menulis. Waktu sisa yang hanya 10 menit sekalipun sangat berharga untuk
menuliskan beberapa kalimat. Penulis buku laris seperti Andrea Hirata, Helvi
Tiana Rosa, Gede Prama, dan sebagainya adalah orang-orang yang sibuk, tetapi
toh mereka mampu menghasilkan banyak tulisan berupa buku. Yang penting
adalah orang harus mau menyisihkan waktunya setiap hari untuk menulis, maka
cepat atau lambat orang tersebut mampu menghasilkan buku.
Writing
School
Kendala-kendala
tersebut di atas perlu diberikan solusi dan solusi terbaik adalah dengan
mengikuti Writing School. Writing School is study activity claiming
cleverness in writing. Dengan kata lain, Writing School adalah melakukan
aktivitas pembelajaran yang menuntut kepandaian dalam menulis. Writing School juga merupakan pendidikan
alternatif yang terjangkau oleh semua kalangan, memberikan kemudahan bagi
masyarakat agar bisa menulis, baik itu menulis buku, cerpen, dan sebagainya.
Pendidikan pada Writing School
berlandaskan Undang-undang No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 4 mengenai Prinsip Penyelenggaraan
Pendidikan dengan tegas juga menggariskan, "Pendidikan diselenggarakan dengan
mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap
warga masyarakat." Oleh karena itu, dengan adanya aktivitas ini diharapkan
seluruh masyarakat bisa menulis dan menjadikannya sebagai habit.
Manfaat
pada Writing
School
Writing
School
mengajak masyarakat mengerti manfaat dari menulis. Ada beberapa keuntungan
menulis yang bisa diraih pada Writing
School, diantaranya:
- Bagi
Mahasiswa/Pelajar
-
Urusan
skripsi terasa lebih mudah karena sudah terlatih menulis sejak
awal.
-
Mahasiswa
memiliki keahlian menulis di luar bidang kuliahnya.
-
Memperoleh
rekan-rekan penulis di berbagai institusi perguruan
tinggi.
-
Mendapatkan
perhatian lebih dari pihak kamus. Dosen, dekan, atau rektor akan senang melihat
mahasiswanya pintar menulis.
- Bagi
Pekerja/Karyawan
-
Menunjukkan
kepada orang lain bahwa dia punya kemampuan menulis selain bekerja di
bidangnya.
-
Menunjukkan
pada dunia bahwa dia memang mahir di bidangnya. Bila yang ditulis adalah ilmu
bidangnya.
-
Membantu
mempromosikan nama perusahaan tempat bekerja karena memiliki penulis
andal.
- Bagi
Ibu Rumah Tangga
-
Mendapatkan
penghasilan tambahan jika mempu menulis buku dan kemudian terjual
laris.
Menulis
Itu Mudah
Menulis
bukanlah suatu beban. Sebuah buku rata-rata terdiri dari seratus halaman. Buku
saku berkisar 75 sampai 100 halaman, buku yang lebih lengkap tebalnya mungkin
150-200 halaman. Jika dihitung bersamaan dengan jumlah kata dan huruf yang
dibutuhkan, maka buku 100 halaman terdiri atas 20.000 (dua puluh ribu) kata dan
115.000 (seratus lima belas ribu) huruf. Buku 150 halaman terdiri atas 40.000
(empat puluh ribu) kata dan 140.000 (seratus empat puluh ribu) huruf. Buku 200
halaman terdiri atas 50.000 (lima puluh ribu) kata dan 200.000 (dua ratus ribu)
huruf.
Adapun
akumulasi waktu yang dibutuhkan, jika setiap satu huruf membutuhkan waktu
sepertlima detik, maka untuk sebuah buku 100 halaman saja dibutuhkan waktu
sekitar 20.000 detik, atau 333 menit, sinonim 5,5 jam saja. Secara matematis,
seorang penulis sangat mungkin menghasilkan sebuah buku setebal 100 halaman
hanya dalam tempo satu hari. Hal itu sudah dibuktikan oleh beberapa ulama,
seperti Ismail bin Zaid sang pemburu hadits pernah menulis semalam suntuk 70
lembar catatan yang rinci, Abul Faraj bin Al-Jauzi dalam sehari mampu menulis 4
buku dan setiap tahun jumlah bukunya bertambah sekitar 50-60 jilid buku. Ahmad
bin Muhammad bin Abu Al-Mawahib menulis 5 buku dalam sehari. Tidak kalah hebat,
penulis besar di negeri tercinta ini yang mampu menulis buku setebal 300 halaman
hanya dalam waktu 3 pekan: Andrea Hirata.
Pada
kegiatan Writing School, sangat sarat
dengan pengembangan karakter penulis berbasis pada pelatihan seperti di atas.
Peserta diberikan tenggang waktu untuk menulis buku yang begitu ringkas.
Seluruhnya dalam rangka menumbuhkan komitmen dan kerja keras bagi semua peserta
Writing School. "Tidak ada tips
terbaik menjadi penulis, kecuali langsung praktik," pekik Mohammad Fauzil
Adhim.
Oleh
karena itu, metode ini sangat baik diterapkan dalam rangka menumbuhkan minat
menulis bagi masyarakat, pekerja, mahasiswa/pelajar di Kota Makassar ini. Yang
secara tidak langsung, dapat membangun peradaban bangsa Indonesia tercinta ini.
John
F. Kennedy berkata bahwa warga negara yang baik adalah warga negara yang
memberikan kontribusi kepada negaranya, bukan terlalu banyak menuntut kepada
negara. Writing School adalah bentuk
amalan tangan dari masyarakat, pekerja, mahasiswa/pelajar untuk kemajuan negara.
Penulis yakin bahwa Kota Makassar yang telah memiliki penduduk 944.372 jiwa ini
akan maju ketika mereka kerap menggoreskan pena.
0 comments:
Post a Comment
Silahkan diisi, komentar Anda sangat membangun: بارك الله فيك