Alhamdulillah, Web Kusnandar Putra Launching

Alhamudlillah, web terbaru Kusnandar Putra sudah diterbitkan. Semoga bisa memberikan kebaikan.

Makassar Sambut 2013 dengan Ketupat

Pasar Pa'baeng-Baeng yang terletak di Jalan Sultan Alauddin, Kota Makassar, kini dibanjiri pengunjung. Layaknya berlebaran, H-1 di pasar ini membuat jalan macet. Bentor, motor, mobil, termasuk dalam kategori terjebak dalam arus kemacetan. Para pejalan kakipun antri untuk berjalan.

Agar Engkau Bahagia

Semoga Alloh menjadikanmu termasuk orang-orang yang apabila diberi kenikmatan, maka bersyukur. Apabila ditimpa musibah, maka bersabar, dan apabila terjatuh dalam perbuatan dosa, maka beristigfar.

Arena Maaf

Aktor-aktor seperti ini yang sukar mengubar maaf, tentunya mencari iklim tertentu dalam pelontaran kata maaf. Sehingga 2 titik kuasa di antar bulan romadhon sebagai ajang pemanfaatan: Pra Romadhon dan Pasca Romadhon.

Terharu: Anak yang Buta Melantunkan Adzan

Tahukah Anda siapa yang adzan di masjd dekat rumah sy tadi? Ya, ia adalah seorang anak kecil. Ukuran 4 SD lah. Sungguh, suaranya melengking, begitu menyentuh,

Monday, December 31, 2012

Penulis Mendebat "Penulis" [Ronde III]

Lanjutan dari Ronde II:
Dari beberapa kekeliruan "berwajah" motivasi penulisan, adalah:

1.3. Butuh Latar Belakang Penulis untuk Menjadi Penulis
Memang, penulisan adalah wacana yang kerap diperbincangkan, hingga beberapa konsumen naskah "terkagum-kagum" dengan penulis, seolah-olah mereka mengatakan, "Wah, hebat sekali penulis ini, pasti dari keturunan penulis." Apakah betul demikian? Menulis itu hasil gen kembar dari "atas"?

Kalau kita berpijak dari semua penulis hingga saat ini, sebagian kecil saja yang memiliki keturunan penulis. Dan mayoritas penulis itu lahir dari ketidakseragaman profesi pihak keluarganya. Ambil contoh Ustadz Dzulqarnain, Ustadz Abdul Qadir, mereka-mereka ini menulis dengan produktif hampir tiap pekan memberikan pencerahan untuk ummat. Dan ketika ditelusuri apakah ada sesuatu yang sama dari parents mereka? Jawabannya tidak. Bahkan mereka "menelurkan" tulisan dengan asumsi dakwah. Mereka mengisi rubrik di www.an-nashihah.com dan www.almakassari.com.

Ini memberitahukan kita, betapa mudahnya penulisan itu. Kebutuhan utama adalah minat, dan aksi. Banyak orang meminati dunia aksara ini. Namun, apa daya tangan tak sampai. Mengapa? Karena yang digengam cuma minat, tanpa aksi.

Latar belakang apapun kita, berdarah non penulis tetap berpotensi melahirkan tulisan. Ingat, tulisan berbobot. Bukan menyimpang.

1.4. Ingin Menjadi Public Figure
Duhai, malu sebenarnya kita ini, jika menyepakati tulisan 1.4. Mengapa? Seolah-olah kita mengejar dunia. Kebanyakan para penulis mengidap penyakit ini, katanya dengan Public Figure, kita bisa disapa orang asing tanpa kita mengenalnya, "Fulan, Fulaaaan, Fulaaaan, minta tanda tangannya dong! Kamu kan penulis buku keren itu!" Luar biasa, betapa malu kita mengharapkan dunia seperti ini. Hal inilah yang disinyalir oleh Rosululloh, ". aku khawatir akan dibentangkan dunia atas kalian sebagaimana telah dibentangkan atas orang-orang sebelum kalian. Lalu kalian pun berlomba-lomba padanya sebagaimana mereka berlomba-lomba padanya. Kemudian dunia itu akan menghancurkan kalian sebagaimana telah menghancurkan mereka." (HR. Al-Bukhariy no.3158 dan Muslim no.2961) Naudzubillah.

Mari kita mengingat, popularitas adalah dambaan bagi "segelintir" orang. Tapi, ingat, jangan dipaksa-paksakan. Apakah dengan aksi "gemar" memaksakan tulisan berbobot. Menulislah dengan ikhlas, semata-mata hanya kepada Alloh. Biarkan mengalir tulisan itu. Dalam dunia ini, pasti ada kontroversi tulisan, dan ada pula pro. Tidak jadi masalah, wong kita berbeda-beda dari asal. Bangun proyek naskah kita dengan alasan "shohih", tanpa interfensi luar. Ingat, semua aspirasi konsumen adalah efek, bukan tujuan meluncurkan tulisan.

Banyak orang mengklain menjadi public figur adlaah kesempatan emas. Contohnya ini, seorang penulis mengatakan dalam bukunya,

"Secara pribadi, hal yang paling nikmat ketika menjadi seorang public figure adalah kesempatan memiliki peluang-peluang yang mungkin tidak dimiliki oleh orang biasa."

Secara batin, saya merasa tidak aman dengan perkataan ini, seolah-olah yang tidak menjadi public figure adalah tidak mendapatkan "kenikmatan". Subhanalloh. Sekali lagi, apakah penulis itu memiliki visi berpangkat public figure? Penulis "murni" adalah mereka yang memperjuangkan kebenaran, meskipun bukan public figur bahkan mereka diklaim stupid figure. Tapi, toh, mereka aman-aman saja.

Lihatlah Ibnul Qoyyim, bersahabat dengan jeruji penjara akibat dakwahnya, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab diusir dai kota kelahirannya efek dakwah tauhid mereka. Dan masih menjamur lagi perjalanan para penulis dalam mengerungi dunia keikhlasan.
Bersambung.
28 Desember 2011

Penulis Mendebat "Penulis" [Ronde II]

Luar biasa, pasca menurunkan tulisan Penulis Mendebat "Penulis" [Ronde I], saya mendapatkan aroma baru dalam pentas perdebatan ini, ada yang mengoreksi napak tilas huruf-huruf saya, ada pula "memantulkan" kembali wacana 'menuls itu ibadah', dan itu semua kembali kepada ucapan "jazakumullohu khoir" bagi mereka. Sekarang kila lanjut ke ronde ke-2. Namun, saya sedikit sanggah dulu komen-komen yang jatuh di tenda saya,

1. Seorang kawan yang tericinta memberi komentar pada Ronde I kemarin, "..ejaan dan cara penulisannya mungkin baiknya diperhatikan baik2 dulu sebelum dipublish, K'. Ada beberapa kesalahan ejaan dan cara penulisan yang menurut saya harusnya tidak terjadi"...
Bantahan:
Sebenarnya saya mengambil sumber dalam kepenulisan dari beragam buku, dan tolak ukur kepenulisan adalah mengakhirkan proses editing. Nah, hal inilah yang memicu saya untuk terus menulis. Tanpa menoleh kepada kesalahan yang disebutkan saudara saya. Menimbang pada saat menurunkan tulisan itu, saya dalam keadaan genting. Kenapa? Pada hari itu, sempat menurunkan 3 tulisan pada limit waktu sejam, kira-kira. Tambah lagi, saya menulisa dengan 10 jari. Pahamkan, jari itu kadang terbang-terbang, sehingga tak tahu dimana ia transit. Apakah ke huruf 'a' padahal minat hati ke 's'. Tapi, sebagai tambahan masukan dan saran, saya sangat apresiatif terhadap masukan itu, demi kesejahteraan album tulisan. Dunia aksara kontemporer ini, kebanyakannya berbingkai pada produktifitas dengan tulisan teredit, namun yang digandeng tulisan "keliru" tanpa sadar.

2. Lain lagi dengan kawan saya ini, angapannya, " menulis itu salah satu uslub Dakwah, jika contentnya Islami, Apa jadinya jika Al-Quran jika ...itu tidak dituliskan pada lembar-lembar papirus? Apa jadinya jika para Ulama Islam bukan orang-orang yang bookholic. Pada masa kejayaan Islam, meski belum ada percetakan Buku-buku bertebaran bak jamur di musim hujan. Semua siswa mencatat apa yang mereka pelajari. Para Ulama mengabadikan ingatan mereka dengan tinta dan darah..."

Bantahan:
Apresiasi tetap pada orang itu, makasih yah demi "kedewasaan" dunia aksara saya. Ketahuilah, memang, dan sepakat saya, bahwa menulis adalah uslub Dakwah. Dan perlu saya tekankan lebih dalam. Tulisan saya pada Ronde I, mengajak kita berpikir bahwa tulisan secara "umum" bukan dakwah. Dan juga, meskipun konten Islamiy, masih dipertanyakan dakwah apa yang dia maksud? Apakah dakwah mengajak kepada alirannya? Mengajak kepada manhajnya? Atau ada visi misi pemikiran "buram" dengan baju islamiy? Semua harus jelas dan kritis. Membangun naskah bukan hanya dengan semangat islamiy, tapi dengan korelasi dalil shohih. Sekali laigi, tulisan Ronde I, hanya menyinggung secara umum. Siapa saja yang mengklaim secara umum, "menulis adalah ibadah". Tetapi, secara khusus, jelas, saya pun sejalur dengan ajakan berdakwah mediasi tulisan (baca: uslub dakwah). Dengan syarat, harus jelas konten islaminya. Shohih atau non shohih.
Bersambung...
28 Desember 2011

Penulis Mendebat "Penulis" [Ronde I]

Sempat mempublish perkataan, insya Alloh akan menulis naskah "Penulis Mendebat Penulis" pada layanan FB. Oleh karena itu, pada kesempatan ini, saya akan menggodok sisi "keliru" dari proses kepenulisan, yang dipelopori oleh aneka ragam buku kepenulisan, how to kepenulisan. Mari kita lihat dari persepsi yang beragam:
1. Motivasi
Uluran motivasi para penulis senior kepada "generansinya" memang perlu, tetapi tidak dengan ajakan "keliru". Yang kerap kali menanam saham pemikiran, namun yang tertanam adalah pohon "racun" kepenulisan. Ini yang lumrah dari motivasi itu:

1.1. Dapat Uang
Sangat menyedihkanan, ada yang selalu saja mengajak kepada calon penulis untuk beriorintasi harga. Kadang provokasinya, "Jika buku terbit, maka kamu akan kaya, best seller!" Dan semisal dengan itu. Sementara menulis itu bukan profesi, melainkan sambilan saja. Kalau ada yang peka, menulislah! Karena itu, dalam satu acara, ada seorang anak yang sudah menuliskan buku 3 buah, tapi tetap ia berkata, "Menulis tidak bisa dijadikan profesi!" Wajarlah, perkataan penulis ini. Tidak ada yang salah, justru benar! Karena aktivitas menulis adalah berbicara minat saja. Ada yang memberikan testimoni beerapa penulis tajir, timbulkan pertanyaan bagi penulis tajir ini, "Apakah Anda dulu menulis dengan niat harta kekayaan?" Saya yakin mereka tertawa, dan melototi Anda dengan sangat. Karena itulah, menulis itu, ya menulis saja.
1.2.Ibadah
Wow, sempat saya menatap panggilan untuk menulis dengan penegasan "menulis adalah ibadah." Dan hal ini membuat saya heran dan bertanya, "Betulkan demikian?" Jika menjawab demikian, maka yang tidak menulis menggenggam "dosa" dong? Bukankah ibadah itu berujung pahala? sementara kebalikan dari pahala adalah dosa? Astagfirulloh, dimana korelasi ibadah dengan menulis? Apakah kita ingin menggunakan "dalil" Surah Al-Alaq Ayat 1 memprovokasi menulis? Ingat, perintah itu bukan untuk "menulis". Mari kita simak tafsirnya dari rujukan ini.

"(Bacalah dengan Nama tuhanmu yang menciptakanmu) bacalah Al-Qur'an dengan diawali dengan menyebut Nama tuhanmu, yaitu dengan membaca Bismillah disetiap awal surah-surah dalam Al-Qur'an, maka Ba' dalam kata " ??????? ???????" dibaca nasb karena menjadi Hal, ada yang mengatakan bermakna 'alaa, dan juga dikatakan artinya sama dengan Bismillah, yaitu bacalah Al-Qur'an dengan diawali bacaan Bismillah. Artinya dalam ayat pertama ini ada penegasan kepada sang pembaca (Nabi pada saat itu) , bacalah dengan kuasa tuhanmu, meskipun kenyataannya pada saat itu Nabi Muhammad tidak bisa membaca dan menulis, maka perintah ini datang dari Allah Supaya beliau membaca meskipun tidak bisa menulis. Ukurannya adalah Allah bisa menjadikan Nabi Muhammad sebagai Pembaca menkipun sebelumnya tidak ada tentang pengajaran tentang itu."
Dari keterangan di atas, nampak sekali, tidak ada anjuran menjadi penulis. Sehingga benang merahnya, salah, jika ada menginterpretasikan menulis itu ibadah.
 Bersambung.

26 Desember 2011

Warisan para Facebookers "is" Tulisan Sehat

"Tulisan adalah pengusung peradaban. Tanpa tulisan, sejarah menjadi sunyi, ilmu pengetahuan lumpuh, serta pikiran, dan spekulasi mandek."

Tinggi dan majunya peradaban suatu bangsa selalu ditandai atau linear dengan produktivitas menulis. Kemajuan peradaban Yunani, Islam, India, dan Cina disebabkan keterkaitan mereka dalam kelanjutan semangat dan distribusi ilmu pengetahuan. Dengan kata lain, keterkaitan budaya. Yunani merupakan peletak dasar yang menempatkan tulisan sebagai bagian dari distribusi budaya. Dengan kata lain peradaban buku mulai dibangun oleh Yunani. Kemudian disusul oleh negara-negara di atas.
Deal or no deal, India yang saat ini menjadi raksasa ekonomi suatu saat akan menggeser raksasa Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Jerman, dan Jepang. Hal ini terwujud karena India telah membangun pondasi sejak lama untuk menuju masa keemasan dan beberapa tahun ke depan. Negara tersebut memiliki tradisi kuat yang berbasis pada dunia perbukuan. Saat ini, India merupakan negara produsen buku terbesar di dunia dan tradisi membaca dan menulis masyarakat tersebut telah menjadi tabiat paten. Dengan demikian, tercipta iklim yang kondusif bagi pengembangan ilmu dan suatu saat akan mencapai titik klimaks.

Warisan apa mestinya diimplementasikan oleh kompasianer?
Warisan adalah harta peninggalan yang ditinggalkan pewaris kepada ahli waris. Warisan berasal dari bahasa Arab. Al-miirats, dalam bahasa arab adalah bentuk masdar (infinititif) dari kata waritsa- yaritsu- irtsan- miiraatsan. Maknanya menurut bahasa ialah 'berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain'. Atau dari suatu kaum kepada kaum lain.
Ahli waris adalah orang-orang yang berhak menerima harta peninggalan (mewarisi) orang yang meninggal, baik karena hubungan keluarga maupun karena memerdekakan hamba sahaya (wala').
Namun, ditulisan ini tentunya mengarah kepada warisan para kompasianer, apakah itu? Itulah tulisan sehat. Ahli waris mereka adalam pembacanya naskahnya.
Tulisan sehat adalah sangat jarang ditemukan, kecuali bagi mereka (kompasianer) betul-betul mengharapkan perubahan kepada para pembacanya. Tulisan sehat selalu menuai ketajaman argumen dan sumber. Dan berdampak sehat peruntukan pembaca.

Kendala Budaya Menulis
Salah satu kelemahan mendasar yang telah diidentifikasi sebagai biang adalah budaya budaya menulis sangat rendah dalam perbukuan di Indonesia. Selalu saja orang berargumentasi perlu bakat untuk menorehkan pena. Sesungguhnya asumsi demikian tidak perlu berlarut-larut. Setiap orang pada dasarnya bisa menulis. Menulis makalah, menulis puisi, menulis surat pembaca, menulis naskah pidato, menulis ringkasan kuliah, menulis laporan praktikum, menulis bahan presentasi, dan sebagainya menunjukkan bahwa orang tersebut punya "bakat" menulis. Persoalan menulis tidak terletak pada bakat, tetapi lebih pada masalah mental atau komitmen yang tidak pernah terbangun. Singkirkan anggapan bahwa menulis itu sulit. Yakinlah bahwa semua orang bisa menulis. Apapun bisa dipelajari termasuk menulis buku. Kuncinya terletak pada kemauan. Dimana ada kemauan, disitu ada jalan. Oleh karena itu, ada anggapan bahwa jika kita sudah bisa berbicara, maka itu artinya kita sudah bisa menulis.
Persoalan kedua yang membuat orang enggan menulis adalah kesibukan atau tidak punya waktu. Waktu memang menjadi persoalan bagi orang yang sibuk, namun asal ada kemauan yang kuat, persoalan waktu bisa diatasi. Asalkan sesorang mengelola waktunya secara efektif, maka sesibuk-sibuknya seseorang pasti dia punya waktu luang untuk menulis. Waktu sisa yang hanya 10 menit sekalipun sangat berharga untuk menuliskan beberapa kalimat. Yang penting adalah orang harus mau menyisihkan waktunya setiap hari untuk menulis, maka cepat atau lambat orang tersebut mampu menghasilkan buku.

Yang mana tulisan Tidak Sehat Itu?
Apa hukum membaca dan menulis kisah fiksi dan cerita yang bisa membangkitkan imajinasi? Dan apakah jika kisah-kisah ini membantu memperbaiki beragam masalah sosial, maka kisah-kisah ini diperbolehkan?

Jawab:
Kisah fiksi seperti ini merupakan kedustaan yang hanya menghabiskan waktu si penulis dan pembaca tanpa memberikan manfaat. Jadi lebih baik bagi seseorang untuk tidak menyibukkan diri dengan perkara ini (menulis atau membaca cerita fiksi-ed).
Apabila kegiatan membaca atau menulis kisah fiksi ini membuat seseorang lalai dari perkara yang hukumnya wajib, maka kegiatan ini hukumnya haram. Dan apabila kegiatan ini melalaikan seseorang dari perkara yang hukumnya sunnah maka kegiatan ini hukumnya makruh. Dalam setiap kondisi, waktu seorang muslim sangat berharga, jadi tidak boleh bagi dirinya untuk menghabiskan waktunya untuk perkara yang tidak ada manfaatnya.
(Fatwa Syaikh Fauzan di ad-Durar an-Naadhirah fil-Fataaawa al-Mu'aasirah - Pages 644-645, al-Fowzaan - ad-Da'wah 1516, Jumaada al-Oolaa 1416AH)
Diterjemahkan dari http://www.fatwa-online.com/fataawa/miscellaneous/miscellaneous/0070823.htm
untuk http://ulamasunnah.wordpress.com
Lihat: http://fiksi.kompasiana.com/cerpen/2011/12/06/warisan-para-kompasianer-is-tulisan-sehat/

6 Desember 2011

Tidak Bisa Mengetik 10 Jari, Terbukti Anda Bukan Penulis

Apa jadinya jika hanya menggunakan 2 jari, telunjuk kiri dan telunjuk kanan! Anda sangat ketinggalan zaman, kecuali bagi mereka yang cacat fisik. Namun, saya yakin, yang melihat tulisan ini merupakan sosok sempurna dari sisi fisik. Lantas, mengapa Anda tidak bisa mengetik 10 jari? Malas belajar? Malas mengetik? Wajarlah jika Anda bukan penulis. Apalagi mau disebut facebbokers...

Anda tersinggung?
Alhamdulillah, itu wajar...

Anda marah?
Sangat bagus demi perkembangan Anda.

Anda mau memukul?
Janganlah.... Dosa...

Maaf, saya bukannya ahli dalam soal ini: mengetik 10 jari. Dan saya pun tidak merekomendasi diri ini. Tetapi, saya ingin membagi kepada Anda betapa urgennya urusan pengetikan ini. Sampai-sampai saya sempat terpikir untuk mengadakan lomba mengetik 10 jari antara mahasiswa dan tukang rental yang tak kuliah. Tiba-tiba saja rekan saya yang mahasiswa itu takut tak kepayan dengan provokasi lomba itu. Nah, disinilah letak perbedaan karakter penulis dan penjiplak/plagiat tulisan, rata-rata mereka hanya mengandalkan orang untuk menuntaskan tugas akademiknya.

Marilah, wahai para penulis, belajarlah mengetik 10 jari. Meskipun hanya dengan mesin tik dahulu. Saya teringat dengan masa SMA saya. Pada saat itu, semua rekan sejawat saya sudah difasilitasi dengan komputer bahkan laptop. Namun, saya tak putus asa, meskipun tidak memiliki kekayaan duniawi itu, saya mulai mengambil mesin tik kepemilikan paman. Maka kuambil pula buku tua, tutorial mengetik. "Sangat keras tombolny!" Tetapi itulah sebuah perjuangan saya, sehingga Anda membaca tulisan-tulisan saya.

Sekarang giliran Anda. Lihatlah link di bawah ini. Pelajari! Copy! Saya tunggu tulisan 10 jari itu!

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhhZIPC1D4vCyaffxiJeYekmg9g7AK__wXMtVdktrZ3Ok3uNrScVsKR5yuXw-kL66IFxtrkaTotoz00Zb5sCjkDnIRYHruRuCA3AG_dQze2DfVRGZ6eNy9Wagw44DxGw9nORIMJAVVBxvHX/s1600/mengetik+10+jari.jpg
http://topan.web.id/wp-content/uploads/2008/02/keyboard-for-wordpress.jpg

 12 Desember 2011

Penyakit yang Sekarang, Rabun Membaca & Pincang Menulis

Jelas sekali, penyakit merupakan sosok terhindar dari setiap manusia. Apalagi sampai derat kronis. Tak ada yang mau mengidapnya. Namun, tanpa kita sadari, perlu kita ingat, penyakit itu memiliki interpretasi beragam. Maka teringatlah saya dengan perkataan Remy Sylado, yang menyimpulkan bahwa kita di zaman sekarang, apakah yang menulis sekarang ini ataupun Anda yana membaca tulisan saya, semua rata-rata mengidap penyakit kronis "Rabun Membaca & Pincang Menulis". Menarik sebenarnya kita telusuri hal ini, statement ini, apakah benar demikian adanya gambaran kita? Ataukah menyelisihi fakta yang ada. Tapi, saya yakin 80%, tidak ada salahnya fenomena tergambar tadi.

Rabun Membaca
Sudah berapa kali kita melahap buku bacaan per hari? 10 buku? Mustahil. 1 Buku? Masih misteri. Dan berapa akumulasi waktu membaca kita per harinya? 1 jam? 1/2 jam. Masih terasa berat untuk itu. Buku di mata masyarakat, ibarat kuman yang ditakuti. Sementara mereka tidak sadar, sesungguhnya di sana sangat banyak mutiara tersimpan. Cobalah untuk sadar! Ngapain mengahabiskan waktu dengan urusan lain: gosip, begadang, ngerumpi, etc. Yang memberikan efek negatif pada pertumbahan akal kita? Sudah sangat lazim, fungsi dari membaca, dampak posif dari bacaan, pengaruh sikap dari bacaan. Seluruhnya memberikan penegasan kepada kita untuk bangkit dar rabun ini. Sudah banyak perpustakaan kita, jika hanya mengeluh tak ada uang untuk membeli buku. Sudah ada metode meminjam kepada rekan, jika malas ke menjadi anggota perpustakaan. Sekarang saatnyalah, merubah paradigma kita menjadi lebih terdepan dan tidak latah dengan sikap menjauhi ilmu.

Pincang Membaca
Bagaimana gambaran kita jika sudah tak bisa lagi melangkahkan kaki yang sempurna ini? Sapa yang ingin mengidapnya? Jelas tak ada mau. Namun, sadarkah kita, penyakin "pincang membaca" pun mengotori negeri tercinta ini. Disinyalir semua memiliki biang dari malasnya kita mematenkan hikmah dari apa yang kita indrai (tonton, baca, etc). Jangan ragu dan malu untuk memulai kebangkitan minat. Beri penegasan pada diri ini bahwa kita bisa untuk itu: Menulis. Menulislah, tak ada larangan dalam menulis. Yang ada bungkam dalam penulisan.

16 Desember 2011

Menulis Memang Susah

"Jika tulisan bersama air mata, maka pembaca akan menangis.
Jika tulisan bersama kekecewaan, maka pembaca akan kecewa.
Jika tulisan bersama gembira, maka pembaca akan gembira."

Itulah beberapa teori kausalitas dalam tulisan. Sehingga tidak terkategoriakn orang yang menulis dalam keadaan "terpaksa" lalu mengharap orang membacanya dalam keadaan bersedih.
Dari sekian banyak teori kepenulisan, saya lebih pro dengan motivasi "menulislah". Ketimbang tematik teknis kepenulisan.
Dari motivasi penulisan, saya lebih simpatik dengan teori situasional. Apa maksudnya?
Sudah 1/2 tahun saya membaca buku penulisan, saya kerap mendapkan teori pemaksaan. Apa contohnya? Saya selalu saja diseret dalam lingkup bukan disiplin ilmu saya. Ambil cotoh menulis dalam bidang cerpen. Tentu saja, kita yakin, seseorang bergerak bukan karena dipaksa, melainkan panggilan hati. Nah, hati saya belum bisa ke bidang itu. Tetapi, ada sebuah buku sempat saya beli di toko kolega saya. Bukunya mengajak kepada pengertian penulisan bahwa yang merangsang seseorang itu menulis adalah "sensitifitas" dalam keadaan sekitar. Seseorang yang dilingkungann terjadi ketidaknormalan, maka tentu saja amar ma'ruf harus ditegakkn, salah satunya dengan dakwah. Seseorang yang melihat kesyirikan terjadi di rumahnya, pun hendaknya berdakwah.

Hal ini sama dengan metode menulis, menulis adalah kegelisahan hati melihat keadaan sekitar. Jangan takut! Mengapa? Karena yang takut itu adalah mereka yang tidak berani menulis, dengan asumsi belum "mahir", belum "terbiasa", apalagi dengan alasan belum dapat materi "penulisan." Sungguh menyedihny!

Tulisan saya terposting ini, bukan tulisan edit yang berbulan-bulan, melainkan hanya sekitar 8 menit saja (wallohu a'lam). Saya menulis karena merasa peka saja dengan kondisi kekinian ini. Terfokus pada tematik dunia penulisan, karena saya juga "senang" menulis. Layaknya saya senang membaca.
4 Agustus 2011

Mengapa saya cemburu pada penulis yang "ini"

Baru saja, saya lupa jam tepatnya. Salah seorang rekan saya menawarkan link ke web dimana tulisannya "ia" posting. Sebagai bentuk tawaran, tentunya kita tidak boleh menolah hal itu. Pertimbangan ia kawan dan ia "invite me". Tiba di lapak tersebut. Luar biasa! Semua postingannya rerata sudah diterbikan diberbagai media massa: kompas, fajar, tribun, etc. Hanya ada 3 yang saya lihat. Salut! Subhanalloh! "Kok saya tidak seperti dia ya?" gumam diri saya dalam-dalam.

Perlu Anda ketahui, ia itu "sejajar" dengan saya. Sama-sama pria. "Lah, wong saya kok tidak seperti penulis produktif itu?" Salah satu biangnya karena memang saya "tidak pernah mengirim lagi naskah kok!" Alasannya apa? Bukankah itu popularitas dambaan penulis? Itukan pilihan jutaan ummat? Karena melalui media kita akan dikenal khayalak? Tunggu saya jawab,...

Gini, rasa cemburu pasti ada. Rasa iri memang ada. Karena dengan persepsi "malu" itu, memberikan proyeksi pemikiran ke arah lebih depan. Titik fokus jawab sederhananya: menulis adalah luas! Prinsipil saya "out of the box", bahkan "out of the writing rules". Dan mudah-mudahan Alloh memberikan keluasan untuk menuliskan naskah "Penulis Mendebat Penulis", yaitu mengeritk teori penulisan yang kian salah, berawal dari niatnya, teknikanya, etc. Insya Alloh.

Menulis hanya menulis, yang berawal dari asumsi "innamal a'malu binniyat".... Niat saya dalam globalisme penulisan ringkas saja, "Jangan menjadi karakter redaksi", jika mengirimkan naskah, pasti selera redaksi menjadi tolak ukur. Makanya, kita kian "berkeringat" mencari tips selera penerbit/redaksi, menjajaki aktor yang telah populer pada penerbit tersebut. Namun, sekali lagi, jangan seperti itu, karena hal itu memberikan kebimbangan karakter kepenulisan kita. Menulis itu susah. Ya, sekali lagi saya ulang, "MENULIS MEMANG SUSAH". Kapan? 

Ketika kita tidak mengetahui untuk siapa kita menulis dan dalam niat apa menulis?

Longgarkan diri dari baju penerbit/redaktur. Lebih baik kita "self publising". Bukankah semua penulis bisa melakukan itu.? Hanya gen "kemalasan" yang masih menggerogoti stigma penulis.

26 Desember 2011

MEMBANGUN PERADABAN KOTA MAKASSAR

"Buku adalah pengusung peradaban. Tanpa buku, sejarah menjadi sunyi, sastra bisu, ilmu pengetahuan lumpuh, serta pikiran, dan spekulasi mandek."
(Barbara Tuchman)

Tinggi dan majunya peradaban suatu bangsa selalu ditandai atau linear dengan produksi buku. Kemajuan peradaban Yunani, Islam, India, dan Cina disebabkan keterkaitan mereka dalam kelanjutan produksi dan distribusi ilmu pengetahuan. Dengan kata lain, keterkaitan budaya. Yunani merupakan peletak dasar yang menempatkan buku sebagai bagian dari distribusi budaya. Dengan kata lain peradaban buku mulai dibangun oleh Yunani. Kemudian disusul oleh negara-negara di atas.
Deal or no deal, India yang saat ini menjadi raksasa ekonomi suatu saat akan menggeser raksasa Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Jerman, dan Jepang. Hal ini terwujud karena India telah membangun pondasi sejak lama untuk menuju masa keemasan dan beberapa tahun ke depan. Negara tersebut memiliki tradisi kuat yang berbasis pada dunia perbukuan. Saat ini, India merupakan negara produsen buku terbesar di dunia dan tradisi membaca dan menulis masyarakat tersebut telah menjadi tabiat paten. Dengan demikian, tercipta iklim yang kondusif bagi pengembangan ilmu dan suatu saat akan mencapai titik klimaks.

Bagaimana dengan negara kita?
Masalah penting rakyat Indonesia yang senantiasa bergejolak dan semakin besar adalah mengapa kita terus saja terbelakang dan tercecer dalam derap kemajuan bangsa-bangsa lain. Indonesia yang mendapat urutan ke empat terbesar di muka bumi (Sensus Tahun 2004: 238 juta jiwa) mengalami krisis distribusi ilmu. Semestinya dengan jumlah penduduk sebesar itu, merupakan ladang pangsa buku yang sangat besar, apalagi lebih 80% dari penduduk Indonesia bisa membaca dan menulis. Namun, sangat disayangkan jumlah judul buku yang diterbitkan setiap tahunnya sangat sedikit, hanya 7.000 judul setahun. Bandingkan dengan Amerika Serikat yang jumlah penduduknya tidak terlalu jauh berbeda (Data 2004: 294 juta jiwa) mampu menerbitkan 75.000 judul buku. Belum lagi Malaysia yang memiliki penduduk tidak sebesar penduduk Indonesia, ternyata mampu menerbitkan 15.000 judul per tahun.
Juga Brunai Darussalam yang berpenduduk hanya 500 ribu jiwa atau 1 kecamatan di Kepulauan Jawa, ternyata mampu menggerser Indenesia sebagai negara produktif dalam menulis karya ilmiah pada lingkup internasional yang dihitung dengan penerbitan karya ilmiah atau tulisan pada jurnal.

Kendala Budaya Menulis
Salah satu kelemahan mendasar yang telah diidentifikasi sebagai biang adalah budaya budaya menulis sangat rendah dalam perbukuan di Indonesia. Selalu saja orang berargumentasi perlu bakat untuk menorehkan pena. Sesungguhnya asumsi demikian tidak perlu berlarut-larut. Setiap orang pada dasarnya bisa menulis. Menulis makalah, menulis puisi, menulis surat pembaca, menulis naskah pidato, menulis ringkasan kuliah, menulis laporan praktikum, menulis bahan presentasi, dan sebagainya menunjukkan bahwa orang tersebut punya "bakat" menulis. Persoalan menulis tidak terletak pada bakat, tetapi lebih pada masalah mental atau komitmen yang tidak pernah terbangun. Singkirkan anggapan bahwa menulis itu sulit. Yakinlah bahwa semua orang bisa menulis. Apapun bisa dipelajari termasuk menulis buku. Kuncinya terletak pada kemauan. Dimana ada kemauan, disitu ada jalan. Oleh karena itu, ada anggapan bahwa jika kita sudah bisa berbicara, maka itu artinya kita sudah bisa menulis.
Persoalan kedua yang membuat orang enggan menulis adalah kesibukan atau tidak punya waktu. Waktu memang menjadi persoalan bagi orang yang sibuk, namun asal ada kemauan yang kuat, persoalan waktu bisa diatasi. Asalkan sesorang mengelola waktunya secara efektif, maka sesibuk-sibuknya seseorang pasti dia punya waktu luang untuk menulis. Waktu sisa yang hanya 10 menit sekalipun sangat berharga untuk menuliskan beberapa kalimat. Penulis buku laris seperti Andrea Hirata, Helvi Tiana Rosa, Gede Prama, dan sebagainya adalah orang-orang yang sibuk, tetapi toh mereka mampu menghasilkan banyak tulisan berupa buku. Yang penting adalah orang harus mau menyisihkan waktunya setiap hari untuk menulis, maka cepat atau lambat orang tersebut mampu menghasilkan buku.

Writing School
Kendala-kendala tersebut di atas perlu diberikan solusi dan solusi terbaik adalah dengan mengikuti Writing School. Writing School is study activity claiming cleverness in writing. Dengan kata lain, Writing School adalah melakukan aktivitas pembelajaran yang menuntut kepandaian dalam menulis. Writing School juga merupakan pendidikan alternatif yang terjangkau oleh semua kalangan, memberikan kemudahan bagi masyarakat agar bisa menulis, baik itu menulis buku, cerpen, dan sebagainya. Pendidikan pada Writing School berlandaskan Undang-undang No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 4 mengenai Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan dengan tegas juga menggariskan, "Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat." Oleh karena itu, dengan adanya aktivitas ini diharapkan seluruh masyarakat bisa menulis dan menjadikannya sebagai habit.

Manfaat pada Writing School
Writing School mengajak masyarakat mengerti manfaat dari menulis. Ada beberapa keuntungan menulis yang bisa diraih pada Writing School, diantaranya:
  1. Bagi Mahasiswa/Pelajar
-          Urusan skripsi terasa lebih mudah karena sudah terlatih menulis sejak awal.
-          Mahasiswa memiliki keahlian menulis di luar bidang kuliahnya.
-          Memperoleh rekan-rekan penulis di berbagai institusi perguruan tinggi.
-          Mendapatkan perhatian lebih dari pihak kamus. Dosen, dekan, atau rektor akan senang melihat mahasiswanya pintar menulis.
  1. Bagi Pekerja/Karyawan
-          Menunjukkan kepada orang lain bahwa dia punya kemampuan menulis selain bekerja di bidangnya.
-          Menunjukkan pada dunia bahwa dia memang mahir di bidangnya. Bila yang ditulis adalah ilmu bidangnya.
-          Membantu mempromosikan nama perusahaan tempat bekerja karena memiliki penulis andal.
  1. Bagi Ibu Rumah Tangga
-          Mendapatkan penghasilan tambahan jika mempu menulis buku dan kemudian terjual laris.

Menulis Itu Mudah
Menulis bukanlah suatu beban. Sebuah buku rata-rata terdiri dari seratus halaman. Buku saku berkisar 75 sampai 100 halaman, buku yang lebih lengkap tebalnya mungkin 150-200 halaman. Jika dihitung bersamaan dengan jumlah kata dan huruf yang dibutuhkan, maka buku 100 halaman terdiri atas 20.000 (dua puluh ribu) kata dan 115.000 (seratus lima belas ribu) huruf. Buku 150 halaman terdiri atas 40.000 (empat puluh ribu) kata dan 140.000 (seratus empat puluh ribu) huruf. Buku 200 halaman terdiri atas 50.000 (lima puluh ribu) kata dan 200.000 (dua ratus ribu) huruf.
Adapun akumulasi waktu yang dibutuhkan, jika setiap satu huruf membutuhkan waktu sepertlima detik, maka untuk sebuah buku 100 halaman saja dibutuhkan waktu sekitar 20.000 detik, atau 333 menit, sinonim 5,5 jam saja. Secara matematis, seorang penulis sangat mungkin menghasilkan sebuah buku setebal 100 halaman hanya dalam tempo satu hari. Hal itu sudah dibuktikan oleh beberapa ulama, seperti Ismail bin Zaid sang pemburu hadits pernah menulis semalam suntuk 70 lembar catatan yang rinci, Abul Faraj bin Al-Jauzi dalam sehari mampu menulis 4 buku dan setiap tahun jumlah bukunya bertambah sekitar 50-60 jilid buku. Ahmad bin Muhammad bin Abu Al-Mawahib menulis 5 buku dalam sehari. Tidak kalah hebat, penulis besar di negeri tercinta ini yang mampu menulis buku setebal 300 halaman hanya dalam waktu 3 pekan: Andrea Hirata.
Pada kegiatan Writing School, sangat sarat dengan pengembangan karakter penulis berbasis pada pelatihan seperti di atas. Peserta diberikan tenggang waktu untuk menulis buku yang begitu ringkas. Seluruhnya dalam rangka menumbuhkan komitmen dan kerja keras bagi semua peserta Writing School. "Tidak ada tips terbaik menjadi penulis, kecuali langsung praktik," pekik Mohammad Fauzil Adhim.
Oleh karena itu, metode ini sangat baik diterapkan dalam rangka menumbuhkan minat menulis bagi masyarakat, pekerja, mahasiswa/pelajar di Kota Makassar ini. Yang secara tidak langsung, dapat membangun peradaban bangsa Indonesia tercinta ini.
John F. Kennedy berkata bahwa warga negara yang baik adalah warga negara yang memberikan kontribusi kepada negaranya, bukan terlalu banyak menuntut kepada negara. Writing School adalah bentuk amalan tangan dari masyarakat, pekerja, mahasiswa/pelajar untuk kemajuan negara. Penulis yakin bahwa Kota Makassar yang telah memiliki penduduk 944.372 jiwa ini akan maju ketika mereka kerap menggoreskan pena.

Mana Tetesan Air Mata di Tulisanmu, Wahai Penulis!

Baru saja terpikir, mengitip beberapa apresiasi tulisan kawan-kawan. Entah yang telah dilirik maupun masih disimpan oleh mereka. Reaksi sebuah tulisan sangat beresiko! Bayangkan saja, komunitas Yahudi di Israel disinyalir oleh provokasi tulisan pendek. Sehingga menggerakkan massa untuk berupaya mendirikan Israel. Itulah efek sebuah tulisan. Gambaran karya. Karena itulah, tak salah seorang kawan di rapat, mengatakan

Jika menulis dengan senang, maka pembaca akan senang.
Jika menulis dengan marah, maka pembaca akan marah.
Jika menulis dengan air mata, maka pembaca akan menangis.

Hingga saat ini, saya sangat deal statement itu. Saya yang kini masih kerja di sebuah toko buku, mendapatkan beragam jenis esensi tulisan, sekali lagi bukan kepandaian bersilat huruf. Melainkan bagaimana sebuah tulisan bisa memberi pengaruh "positif" bagi para konsumen. Memang dunia para pecinta dunia aksara, memiliki orientasi karya majemuk, ada yang ingin mencari popularitas, menarget nafkah, etc. Pokoknya, semua terniatkan. Dan ingat, selau ada resiko.

Sedihnya, jika salah seorang penulis, sangat jarang mengeluarkan tulisan genre "air mata". Apa maksudnya? Yaitu "tulisan yang membuat seseorang itu menangis di dalam hati, dan maksimal terlihat tangisannya pembacanya." Ini bukan pemaksaan, tapi hal itu akan terwujud jika Anda pun menangis dalam upaya menerbitkan karya itu.

Dan point sensitf, karya sensitif yang bisa meraih tangisan para pembaca adalah persoalan keislamannya. Yang kini rata-rata orang sudah kehilangan cinta kepada Alloh dan Rosul-Nya.

"Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al-Qur'an dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud, dan mereka berkata: "Maha Suci Tuhan kami; sesungguhnya janji Tuhan kami pasti dipenuhi." Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu'. " (Al-Isra: 107-109)

Imam Al-Qurthubi berkata tentang firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala (yang artinya):
." Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu'. " Dalam hal ini Allah berlebihan dalam mensifati mereka sekaligus pujian buat mereka dan merupakan hal yang wajar bagi setiap muslim yang yang memiliki ilmu atau sedikit dari ilmu untuk menggapai kedudukan semacam ini, merasa khusyuk, tunduk merendah diri ketika mendengar bacaan Al¬ Qur'an. Lalu beliau berkata bahwa ayat ini sebagai bolehnya menangis dalam shalat yang timbul dari perasaan takut kepada Allah atau perbuatan maksiatnya dalam agama ini. Dan yang demikian itu tidaklah membatalkan atau mengurangi kesempurnaan shalat."

Abdul-'Ala At-Taimi berkata: "Barang siapa yang memiliki ilmu dan tidak bisa membuatnya menangis maka patut dikatakan ia telah mendapat¬kan ilmu yang tidak bermanfaat baginya. " Karena Allah Subhanahu Wa Ta'ala telah menyebutkan tentang sifat dari ahlul ilmu dalam AI-Qur'an:
"Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al-Qur'an dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud, dan mereka berkata: "Maha Suci Tuhan kami; sesungguhnya janji Tuhan kami pasti dipenuhi". Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu." (Al-Isra: 107-109)

Sesungguhnya apa yang didapati oleh seseorang dari perasaan gemetar pada hatinya, air menetes dan tubuh yang merinding disaat mendengar ayat-ayat Allah atau dzikir yang masyru' (disyariatkan) maka ini adalah seutama-utama keadaaan yang telah disebutkan dalam Al-Kitab dan As Sunnah.

Oleh karena itu, mari kita terapkan tetesan air mata itu. Dimulai dari tulisan apa? Bukan tulisan wahai saudaraku! Tapi, bacaan kita, ya, kebutuhan kita, itulah Al-Qur'an, yang kini hanya wejangan tahunan. Bacalah itu. Dan rasakan keistimewaannya.

Barokallohu fik.

12 Desember 2011

KTI diambang Kehancuran

Lumrah bagi diri saya pribadi, melihat gemuruhnya rekan-rekan serumpun meretas kepekaan sosial. Dan itu pasti nilai positif. Ada kebutuhan, maka akan ditambah. Ada kerusakan, maka diadakan koreksi. Dan begitupun seterusnya.
Salah satu peretas keadaan masyarakat kini yang menurun drastis pada segala segmen adalah Karya Tulis Ilmiah (KTI).

Saya sempat membimbing adik-adik tempat PPL di sebuah sekolah. Bimbingan itu digarap sedemikain ketat alih-alih tenggang waktu semakin dekat. Sehingga konten tulisan sangat "terpaksa". Siswa diajak mencari tematik kontemporer yang membangun, hebat, heboh, dan bellum diplagiat. Oleh karena itu, tulisan-tulisan ini hanya bermakna "naskah", sangat kurang dalam pemahaman. Betul sekali bahwa penguasaan materi sangat dibutuhkan, tapi ada yang lebih jauh penting, yaitu: PENGUASAAN APLIKATIF. Apa maksud saya? Penguasaan aplikatif adalah penguasaan pada bidang lapangan, KTI selalu diharapkan merembes ke objek tujuan. Tidak hanya sekedar tulisan "bayaran", yang sengaja "ditulis" asumsi "juara". Oleh karena itu, saya pribadi melihat, banyak aktor KTI menulis pada momentum relativitas. Mereka menulis jika ada provokasi "hadiah". Namun, apa yang terjadi jika tidak ada iklan "fantastis" itu? Ya, saya pikir, mereka akan berpikir ganda untuk menulis.

Oleh karena itu, saya sangat bersedih jika isi batok kepala hanya indikator matrealistik. Sempat merasakan, betapa orang di sekita saya begitu meledak-ledak jika ada ARENA LOMBA KTI, mulai dari menerbitkan naskah, konsultasi padat bersama pembimbing, dan berbagai perihal yang bagi saya bersifat "pemaksaan".

Saya tentunya bukan mau menyudutkan aktor KTI itu, tapi, saya hanya "malu", jika iklim menulis pada waktu "berhadiah" saja. Saya berargumen seperti ini karena saya pun senang menulis. Sepangjang tematik teori kepenulisan, saya selalu mendapatkan bahwa menulis itu dengan "hati", jarang sekali saya termotivasi menulis dengan cuara "berhadiah".
Belum lagi, pemainnya bukan berdasarkan disiplin ilmu tabiat. Saya sangat sayangkan! Kali ini, tentunya pasti banyak kontrovesi. Itu tentu respon bagus! Sangat senang hati ini!

12 Agustus 2011

Keyboar "Lembek"

Bukan hal biasa. Hal ini kerap kali disepelekan dan malas untuk digubris. Itulah menyangkut "kedudukan" keyboard. Bayangkan jika komputer tanpa keyboard, tanpa huruf-huruf QWERTY itu. Betapa melelahkannya. Kadang-kadang kita berpikirlah, membayangkan jika keyboard hanya seperti tombol HP.

Hmm. Betapa rumitnya menghasilkan tulisan. Kini, kita membahas peranan keyboard dalam memobilisasi tulisan. Pertama, ketahuilah bahwa penting sekali menguasai 10 jari.

Nah, malam itu, saya disapa teman. Dan kemudian itu secara tidak langsung sebagai sinyal untuk bermain komputer di rumahnya. Maklum, ia anak "komputer". Rumahnya dikerumuni teman-teman yang minat mendalami dunia komputer.

Di sinilah keasyikannya, sebab GRATIS. Maka mulailah saya menyelami dunia aksara melalui PC teman. Tanpa disangka, keyboard rekan saya itu sangat lembek, membuat jari-temari saya terbang keman-mana. Wow, ternyata peran keyboard lembek/mulus perlu diperhitungkan. Ambil logika, bagaimana jika kita mengunyah nasi yang keras? Ketimbang bubur? Kesehatan lambung bagaimana terhadap 2 keadaan pengunyahan itu?

Hmm, rasanya kita "benci" mengunyah makan yang membuat gigi bekerja keras. Nah, beginilah perasaan saya saat bertemu keyboard lembek/mulus. Seolah huruf-huruf itu sangat patuh terhadap mandat kita. Tanpa, memencet keras, sang jari-jari sudah keburu melaju. Menggauli keyboard akan memobilisasi naskah-naskah kita. Mantap.

Kita berharap kedepannya, seluruh pemilik PC atau laptop, setidaknya "mem-PHK" keyboard lama, dan mendatangkan yang baru dan mesti lembek.Hal ini pula yang bisa meroketkan tulisan kita dalam rangka merubah dunia ke arah lebih baik.

21 Januari 2012

Jatuh Cinta pada Komputer, Sudah Alami

Semalam merupakan saat menyentuh bagi saya.

Apa itu?

Sosok benda yang selama ini membantu mengekspresikan potensi, ekspresi ilmu, kini mengalami kerusakan. Dan kerusakan itu sungguh sangat memilukan diri. Betapa selama ini saya menjamahnya harus berhenti. Itulah komputer.

Komputer saat semalam pemeriksaan begitu bertumpuk dengan debu. Pasalnya selama ini, dia berpenyakit. Banyak gejala yang timbul, misalnya: heng, terlalu lama mengakses internet, tidak bisa lagi meng-copy file dari tempat satu ke tempat lainnya, sungguh hal ini mengantarkan saya untuk 'mengecek' tubuhnya. Siapa tahu ada kotoran-kotoran menempel. Meskipun diri ini bukan alumnus teknikal komputer. Setidaknya saya bisa 'menghargai' keberadaan dia.

Ya, dia saya maksud pada komputer PC saya. Meskipun ditengah keberadaan laptop teman-teman, saya rasa PC saya lebih banyak 'membantu' saya dalam napat tilas kehidupan.

Banyaknya tulisan di FB, sumbernya dimediasi oleh komputer ini. Tugas-tugas kuliah kian menyerbu, telah diminimalisir keberadaannya. Surat-surat ibu saya masih dimudahkan adanya komputer tersebut. Dan masih banyak kontribusi keberadaan benda yang satu ini. Sugguh rasanya sangat sulit menerima kekotoran saat menyentuh sisi-sisi ternodai itu. Kuas pun menjadi alternatif pembersihan. Menggerakkannya menyelusuri sudut-sudut berdebu.

Membuka kipas yang melindungi prosesor sangat menyedihkan. Ternyata debu mengepul. Membuat saya semakin tersentuh. Kotoran itu saya hapus dengan sentuhan kain. Mudah-mudahan bisa memberi pengaruh kebaikan. Siapa tahu dengan hal ini, dapat mempermulus ke-heng-an.

Ternyata pasca pembersihan saya tidak mendapat hasil maksimal. Ini artinya, karya saya mulai semalam harus ditunda. Apa boleh buat, komputer tetap rusak.

Saya kembali berpikir, mengapa baru menyadari bahwa pembersihan itu harus segera. Jangan menunggu kerusakan yang kemudian saat itu baru membersihkan. Saya tahu, sebenarnya sudah 3 tahun bersama komputer ini. Lantas, mengapa baru 'menyapunya'? Kotoran menempel semenjak setahun lalu, meskipun belum ada klu-klu kerusakan. Tetapi, saya merasa saat itu belum ada kasus 'heboh' sehingga tidak ada tindak lanjut.

Dan semalam baru saya sadari. Kotoran-kotoran itu mungkin telah merasuki hingga ke dalam. Tidak bisa lagi ditanggulangi.

Benda yang selama ini menjamah saya, harus hengkang. Membuat saya hingga ini hari harus memendam sakit hati dan menyesal.

28 Februari 2012

Jangan Jual Tulisan

Ada kabar buruk bagi para penulis! Baik yang senior maupun yang meniti puncak popularitas. Apakah itu? Jika penulis memiliki orientasi pedagang. Tidak ada yang salah, namun sangat disayangkan jika penulis menyajikan menu tulisan paksa. Apakah ada kaitan kualitas tulisan dengan gaya paksa? Jelas erat sekali kaintannya, seperti semut memburu gula. Coba bayangkan bagaimana antusias semut jika mendapat provokasi ada gula. Mereka berbondong-bondong mengaktualisasikan tenaga menuju sumber. Begitu pulalah, bagaimana kedudukan penulis terprovokasi "harga", mereka menulis hanya melihat dari faktor keuntungan mengayakan diri. Sehingga tak sadar, mereka telah terjun dalam partai baru: PMP (Persatuan Penulis Paksa).

Sekali lagi, tidak ada salah dalam panghargaan sebuah tulisan, sumber masalah cuma satu: TIDAK IKHLAS. Coba perhatikan bagaimana sosok penulis yang ikhlas? Memang tidak ada bisa memberi contoh pribadi itu, namun, bisa disinyalir ciri-ciri tulisan mereka. Ada beberapa, diantaranya:

Menulis karena Allah. Mereka menyatakan dalam diri bahwa tulisan itu dakwah, bukan sekadar melempar isu. Tetapi, tulisan adalah akses menanamkan dalil kepada seseorang, dengan indikator karena Allah.

Niat, tidak terprovokasi oleh harta. Sehingga tulisan mereka mengalir lurus saja, tidak peduli hambatan dalam resiko komentar. Tulisan mereka bias, apakah sejajar pemikiran masyarakat, maupun nuansa kontroversial. Dimana saja mereka memberikan sumbangsih pemikiran. Dengan dalih, kuatnya referensi dan bisa bertanggung jawab.

Jumlah kata bebas. Jangan menganngap enteng sebuah kata singkat. Coba perhatikan bagaimana kebahagiaan seseorang yang mendapatkan mutiara 1 butir. Sungguh, memberikan nilai tambah pada kepuasan diri. Bagaimana dengan 2 butir, 3 butir? Nah, inilah gambaran bagi mereka yang membeberkan kata singkat namun berharga. Sungguh, kata-kata ini banyak diingatkan pada Al-Qur'an ataupun hadits shohih. Sebagai contoh, "Apakah sama orang yang berilmu dan tidak berilmu?"

Judul Tak Mesti Mengikuti Perkembangan Terakhir. Menulis adalah kunci ikhlas, tuliskan saja, jangan memaksakan diri agar mendapat posisi HL. Ini diibaratkan mencangkokkan diri pada pot yang potnya sudah penuh. Mengalir saja. Anggap judulnya, "Engkau Parasit Agama."

Dan masih banyak lagi penunjang agar tulisan itu bisa ikhlas, yang penting berangkalah terlebih dahulu pada sosok ikhlas, insya Alloh, tulisan pun menjadi ikhlas. Benang merahnya, jangan menjadi anggota PMP (Persatuan Penulis Paksa), jika sudah masuk tanpa sadar, keluarlah! Cari jalan hidup yang baru. Meniti karir dengan ikhlas lebih aman dan berberkah.

28 November 2011

Dilema Profesi: Menikahi Sesama Penulis

Dari ba'da jum'at saya menemukan ide seperti ini. Dengan dasar, dan melihat begitu banyak penulis yang masih bujangan hingga detik ini. Entah mengapa! Apakah faktor keuangan memiliki peran sehingga masih jauh menyempurnakan 1/2 agama ini. Ataukan belum ada "niat" untuk walimah. Nah, saya sangat tertarik jika mengintip sisi kehidupan para penulis bujangan ini. Sakin sibuknya menulis, hingga lupa menikah. Yang dipikir hanya menembus media. Tidak ada yang salah dari hal itu! Tp, titik fokus saya, jika faktor itu melupakan kebutuhan "sunnah"  bagi penulis dewasa.

Selalu saja menjadi persoalan jika ditanyakan bagaimana kriteria calon yang ideal. Apakah yang cantik bagi pria. Memiliki status keluarga yang mapan, dll. Pokoknya sangat majemuk andaikata mendalami kriteria calon. Yang pasti ada sebuah soal mesti dijawab bagi penulis, apakah si penulis juga mencari wanita berprofesi penulis? Mungkin 80% lah, sudah pasti mengharapkan profesi kembar. Setidaknya tidak menyebabkan futur kepenulisan jika mendapatkan pasangan hidup sejiwa. Sehingga, faktor yang terpenting dari sisi agama wanita tak lagi dilirik. Memang betul ya, kadang dunia menjadi penyekat dari semua sektor kehidupan. Saya sangat tidak sepakat jika harus memlih wanita karena produktif pula menulis. Mengapa? Karena itu bukan ajaran agama. Tapi, melahirkan sikap selektif berlebihan. Ingatlah, "agama" wanita lebih penting. Ambil contoh, pilhlah wanita sholeh, memiliki hafalan Qur'an yang banyak, Jilbab yang menutupi aurat, etc sejalan tuntunan agama.

Saya tidak mengatakan wanita berprofesi menulis, tidak bisa dijadikan calon, tapi, sekali lagi bukan "utama". Berbeda antara profesi dan karakteristik sholeh. Selalu ada pembeda. Saya bukannya menyalahkan persatuan penulis dalam tenda biru, tapi "agama" seorang wanita lebih fundamen.

14 Oktober 2011

Derajat 'Perpustakaan' di Toilet Rumah Kita

"Seperti pernah dikutip Koran Tempo, survei Imperial Cancer Research Fund (ICRF) menunjukkan bahwa, 4 dari 10 orang memilih toilet sebagai tempat favorit untuk membaca. Pria menjadi pemilih terbanyak, 49 persen. Wanita hanya 26 persen."
(Harefa, Andrias, 2010: 166).

Suatu ketika pula, saya menulis di Wall FB. Kira-kira seperti ini:
Andaikan perpustakaan ada di WC.
#Pikiran Gila

Hebohnya rekan menimpali:
Benar-benar gila

Nah, kali ini saya coba mengangkat ucapan itu, apakah ada penjelasan lain terkait seseorang yang menggunakan waktunya untuk membaca di WC.

Dari dulu sebenarnya hal ini hendak saya bagi, bagaimana seseorang itu menggunakan waktu tidak sia-sia. Memanfaatkan menyelami ilmu meskipun situasi yang cukup 'genting'. Karena itulah, perkara bacaan ini selaku wahana mencari pengetahuan harusnya dialokasikan sebaik mungkin, dimanapun, kapanpun.

Penembatan lokasi bacaan memang memerlukan situasi yang nyaman, repfesentafi, enjoy, dan santai. Salah satunya di Water Closed (WC). Tempat inilah seseorang itu yang lumrah hanya diam, memikirkan masa lalu, hendaknya diralat mengarah kepada kebaikan. Jangan hanya menghabiskan waktu 30 menit, bahkan 1 jam berdiam di WC tanpa ada pengetahuan diperoleh. WC yang diklaim tempat kotor, tidak berarti 'melarang' kita mencari ilmu. Yang ada larangan adalah berbicara. Karena itulah, membaca disarankan dalam hati saja.

Saya menyarankan demikian, bukan karena sebatas 'hal aneh'. Namun, dalam aplikasinya saya lakoni juga. Bayangkan saja, di WC tempat kerja, sebelum membuang toksin, pra-kepergian, saya sudah menenteng buku. Dan membacanya saat duduk di toilet. Ini lebih aman persepsi saya, ketimbang tanpa buku dibaca, sehingga yang diperhatikan hanyalah warna cat tembok, ember, air kran yang mengalir, yang semua sudah jamak kita lihat setiap membuang toksin ini. Harus ada perombakan. Di sini pula (WC) adalah tempat paling tenang, sementara saya orangnya auditory, tidak bisa diganggu oleh keributan. Bacaan adalah kesempatan mengaktualisasikan rasa keingintahuan.

Karena sekali lagi, dengan adanya bacaan ini, akan meluaskan wahana literasi kita, berselancar bersama puluhan, ratusan, bahkan mungkin ribuan kata-kata.

Ada contoh yang bisa kita dengar dari Hasanuddin, ia mengatakan:
"Saya adalah seorang pembaca yang selalu memanfaatkan WC sebagai tempat berselancar bersama puluhan, ratusan, bahkan mungkin ribuan kata-kata. Sebenarnya, kalau mau jujur, perilaku saya ini sering mendapat ejekan dari teman-teman satu kos."Ih, ke WC kok bawa buku" Begitu kira-kira bentuk keirian mereka pada saya. Saya pun hanya tersenyum, dan tak menanggapinya dengan kata-kata."

Inilah satu ikon pecinta bacaan, hingga mendapat cemooh dari beragama kawan. Tapi, tak menyurutkan semangat menuntut ilmu dia. Jadi, tidak ada lagi alasan saat ditanya, "Mengapa tidak membaca?" Sementara banyak prasarana bisa difungsikan. Salah satunya: WC.

Ada pula Agus Hermawan (seorang Kompasianer) yang mengatakan,
"Saat itu pagi-pagi sekali, setelah solat subuh, sebelum melakukan aktivitas pelatihan di hotel ini juga, saya membaca sebuah buku yang sangat menarik. Saking menariknya ketika saya didesak oleh "sesuatu" yang memaksa harus berada di toilet, buku ini pun dibawa agar tuturan menarik dari si penulis tidak terputus sebelum akhir bab.

Maka, jadilah saya boyong buku ini ke toilet, alhamdulillah sekira sepuluh menit keberadaan di toilet paparan dalam bab dimaksud tuntas dibaca. Akhirnya, bab yang sangat menarik dan sulit untuk diambil jeda pun tuntas, rasa penasaran terhadap bab inipun sirna."

Itulah persepsi Agus, bahwa bacaan apabila terkandas. Maka bisa dijadikan toilet menjembatani penasaran itu. Sebab itu, menarik agar memanfaatkan toilet sebagai sarana 'pencangkokan' ilmu pengetahuan.

Ada beberapa etika yang harus dikenal saat membaca di toilet:
1. Jangan membawa buku yang mengandung ayat al-Qur'an, bahkan jangan membaca al-Qur'an.
2. Tidak boleh membaca sambil mengucapkan redaksi katanya.
3. Jangan membaca ditempat WC gelap. Tentu saja, karena tidak akan terlihat apa yang Anda baca.
4. Tidak membaca dengan menggerakkan kepala. Karena yang tepat, membaca menggerakkan bola mata.
5. Jangan membaca terlalu dekat. Bisa menimbulkan hipermetropi. Cukup jarak +/- 25 cm.
6. Jangan membaca terlau lama. Sebab membaca terlalu lama, identik duduk terlalu lama. Akibatnya menyebabkan meningkatnya bantal anal, yang akhirnya dapat menyebabkan wasir dikemudian hari.
7. Bersihkan dan flush toilet terlebih dahulu.
Ah, rasanya sudah waktunya mencari tempat strategis ini sebagai 'salah satu' lokasi tenang dan enjoy. Dan harapan terbesar saya, impian klimaks adalah semoga ada 'perpustakaan' di WC. Banyak tatanan buku mengisi ruang-ruang WC. Sehingga, tak ada kata 'malas' untuk menyelami ilmu lagi. Tetap inspiratif.

17 Februari 2012

Dengarkan Ini, "Jangan ke Toko Buku!" Sekali Lagi, "Jangan ke Toko Buku!"

Siang mengejar sore kemarin, sempatkan diri ke toko buku yang ada di Makassar, namun ada kekeliruan pada saya karena tidak menakar orientasi pembelian di sana nanti. Perjalanan dengan menggunakan pete-pete (baca: transportasi Makassar) sekitar 30 menit. Tiba dengan seleksi ketat, bayangkan saja tas yang hanya taksiran 500 mg, menuntut pemeriksaan ketat [baca: awas bom di Mall]. Inilah salah satu produk di negara tercinta kita, dan hal ini tentunya harus mendapatkan apresiasi masyarakat. Menimbang masih banyak oknum "samar" menrajalela di negeri tersayang ini.

Toko buku adalah hobi perjalanan saya, dan harapan kita semua, masyarakat di dunia ini mencintai toko buku, dengan selektif menyeleksi buku bacaan. Karena dekade ini, kian menjamur buku menyesatkan,  meskipun itu konten islamiy, kasih-sayang, etc. Tapi, tetap konsistenlah menakar bacaan, belajar mengambil sumber yang jernih, bukan tercampur-baur khayalan penulis.

Rajin ke toko buku, saya rasa kita sehobi. Kalau ke Mall atau lagi banyak uang di kantong. Dan disiyalir "ke-rajin-an" ini memiliki dampak buruk, kotor. Apa maksud saya mengatakan demikian? Perhatikanlah, siapa orang yang kerap masuk menjamuri toko buku? Apakah hari ini mereka sudah memiliki karya sebagaimana buku belian mereka? Karena itulah saya berpandangan "Rajin ke Toko Buku, Menjadikan Diri Pasif Menulis".

Saya tentunya berharap, penyakit ini jangan kita idap. Mendingan buku yang masih duduk tenang di rak buku, harus kita resensikan dalam tulisan, ingat, sekali lagi, buku "tidak menyesatkan". Jangan mengambil estafet dosa jariyah.
Saya yakin, bagi peminat profesi kepenulisan ini, sadarlah, penulis pun "jarang" ke toko buku. Mereka hanya sibuk melototi buku lama mereka, dan layar komputer. Karena itulah, kalau mau jadi penulis, ikuti pula jejak penulis.

Selamat meninggalkan kebiasaan pasif, dan selamat datang di dunia aktif menulis. Inilah kolom kita: kompasiana. Memuluskan perjalanan kepenulisan manusia. Anda yang membaca tulisan ini, ketahuilah, saya menulis di tengah kesibukan menjadi kasir sebuah toko buku. Namun, mempung "bos"-ku tidak lihat, maka On-Line jalan terbaik, lagi pula tak ada pelanggan mau bayar. Kalau bukan sekarang, "when else?"

26 Desember 2011

Berhentilah Membaca, Maka Anda Akan Menjadi Penulis

Sudah sekitar 6 bulan, saya bersama rekan-rekan kampus memelihara kestabilan minat menulis generasi "penulis". Namun, titik balik atau dampaknya masih belum terlihat maksimal. Betul, sudah ada beberapa memposting tulisan. Namun, di mata saya itu tidak maksimal. Mengapa? Karena menulis sebatas kebutuhan. Bukan kewajiban. Kewajiban yang saya maksud, pasti bukan terminologi agama. Bahwa jika dikerjakan mendapat pahala dan jika dilewatkan mendapat dosa. Sekali lagi bukan!
Kewajiban adalah jika tulisan dimanfaatkan sebagai mobilisasi data-data faktual yang mesti dipublish.
Saya banyak melihat, bahkan mayoritas di benak para penulis, terlalu "tinggi" dalam penginterpretasian penulis. Saya bertanya dalam hati, "Apa yang dimaksud penulis?'
Penulis dari sisi saya, ialah ketika "sedang", bukan "telah" menulis.
Lantas bagaimana trik menjadi penulis?

Pasti sudah banyak pembahasan mengenai perkara ini, mulai dari teknis awal hingga posting sudah ada teratur. Akan tetapi, kadang ketika rumus di atas saya gunakan, masih saja tulisan itu mengambang. Entah mengapa! Telusur punya telusur, saya mengambil terjemahan sendiri. Ternyata saya melihat tulisan itu "pemaksaan". Apa maksud saya?
Jamak keseharian, memburu nilai-nilai artistik, mulai dari posting, dead line, menjadi acuan mendesak.

Sampailah pada akhir tulisan "terpaksa". Saya harap saya tidak mengulangi itu lagi! Tapi, ada sisi lain dari semua itu, saya melupakan ada perkara yang mesti tersimpan pada diri-diri penulis. Apa itu?

"Berhentilah Membaca, Maka Anda Akan Menjadi Penulis"

Loh, bagaimana maksud kalimat di atas? Menjadi tabiat saya, membaca merupakan santapan jikalau lagi kosong! Namun, bacaan itu jika dikaji ulang keesokan hari, ternyata saya LUPA. Bukan karena saya sudah 70 tahun (alias pikun), saya tentu saja masih 22 tahunan. Akan tetapi, semua itu terjadi lantaran saya tidak menuliskannya. Terlalu banyak membaca berdampak melupakan inventarisir bacaan. Sehingga, seharusnya pribadi saya: BERHENTI MEMBACA dulu!

4 Agustus 2011

Bacalah Buku dari Belakang ke Depan, Temukan Apa yang Terjadi

Dari sebuah buku, akan nampak ada percikan kata-kata membangun yang kemudian membuat seseorang bisa 'berubah'. Itulah tendensi semua penulis buku. Tinggal pertanyaan, perubahan apa yang diharapkan? Apakah para penulis buku itu menggiring ke jalan yang lurus atau jalan yang miring? Semua sudah ada di depan kita.

Buku-buku sudah membanjiri negeri ini. Mulai dari konten islamiy hingga buku duniawi. Telah cukup bagi kita apa yang tertata di lemari buku. Terlihat puluhan bacaan menghiasi ruangan itu. Paling tidak, ada buku dijejali mengisi ruangan.

Kali ini, cobalah kita berpikir, secara jujur dimana letak visi misi penulis dalam menuangkan tulisan mereka? Apa harapan mereka di saat para konsumer melahap buku tersebut? Dimanakah letak inti dari sebuah buku?

Kalau kita menantap lebih apik, sesungguhnya misi/misi seorang penulis terletak di akhir bacaan. Ya, mereka para penulis akan menampilkan do'a mereka, harapan mereka pasca membaca tulisannya. Apa yang bergejolak hingga penulis membuat buku itu terkadang tertuang di halaman akhir ini.

Teringatlah saya pada sebuah buku bacaan yang baru beberapa hari ini dibeli, Syarah Riyadhus Shalihin. Buku yang berjilid 4. Sangat tebal perjilidnya. Tetapi, setiap kita membaca halaman demi halaman, pasti ada tusukan teguran yang kadang membuat kita menangis, menyesali dosa, itulah percikan ayat dan hadits yang dipaparkan (disyarah) oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin. Sangat menyentuh!

Dan yang paling menarik, penulis Riyadhus Shalihih yaitu Imam an-Nawawi menutup bukunya dengan do'a:
"Segala puji bagi Alloh yang telah memberi petunjuk kepada kami dan kami tidak akan berpetunjuk jika Alloh tidak menunjuki kami. Ya Alloh, sampaikan salam kami kepada Muhammad, hamba dan Rosul-Mu. Seorang nabi yang ummi dan juga kepada keluarga, istri-istri, dan keturunannya, sebagaimana Engkau telah bershalawat kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim. Berkahilah Muhammad Nabi yang ummi, kepada keluarga, istri-istri dan keturunannya, sebagaimana Engkau telah memberkahi Ibrahim dan keluarga Ibrahim, di dunia ini. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji, Maha Mulia."

Dan pensyarah menambahkan di akhir syarahnya:
"Semoga Alloh menjadikan kita semua dapat melihat wajah -Nya di surga yang penuh kenikmatan, sesungguhnya Alloh Mahakuasa atas segala sesuatu. Hanya Alloh yang memberi taufiq."

Subhanalloh, inilah sebuah inti dari sebuah buku bagi saya. Mereka mendo'akan pembacanya, bahkan seluruh manusia agar mendapat hidayah.

4 April 2012