بِسْمِ-اللهِ-الرَّحْمنِ-الرَّحِيم
Saat berada di sekolah, selau ada perkara baru
saya buat. Bukan berarti ini aksi "bid'ah" saya, hanya semacam pembaruah gaya
dan metode pembelajaran. Stasus di SMA yang tempati, bukanlah sosok menduduki
jabatan istimewa. Sekedar membatu saja guru yang saat ini mengambil cuti hamil.
Insya Alloh, bulan 3 sudah melahirkan. Dan artinya, sedikit lagi limit waktu
meninggalakan para siswa dan lingkungan berkesan itu.
"Tidak usah kecewa!" Itulah
kalimat yang bisa kita pakai saat mengalami kekecewaan. Wong, dalam perjumpaan
pasti ada perpisahan.
Oleh karena itu, saat memasuki kelas perdana,
saya sempatkan memberi angket kepada siswa. Memandatkan agar menuliskan:
Nama :
No. HP :
FB :
Twitter :
Alamat :
Niat menanyakian identitas di atas, adalah
semacam bentuk perhatian kita selaku guru. Setidaknya memberikan spirit walaupun
bentuk SMS (mendakwahi, memotivasi, memberikan kata-kata mutiara), melihat FB
mereka setidaknya mengetahui keluhan-keluhannya, melihat alamatnya setidaknya
bisa silaturrahmi sebagai bentuk apresiasi kekawanan kita bersama siswa.
Yang kemudian dilanjutkan memberi beberapa
soal-soal kehidupan sekolah dan rumah mereka. Saya menanyai:
1. Bagaimana pendapat Anda tentang SMA
ini?
Ini sebagai barometer kesuksesan tatanan sekolah
sendiri. Merefleksi "kebetahan" siswa dalam habitatnya masing-masing. Jangan
jamak menafsirkan sekolah itu baik, namun "Penduduk" di dalamnya mengalami
kejenuhan. Dan ini kerap kita lupakan, "suara siswa" kita sendiri. Teringatlah
saya saat masih duduk di bangku SMA. Ada sebuah kota saran di tempatkan depan
perpustakaan. Orientasinya agar ada ruang kritik pada perkembangan pelajaran,
sarana, dan hal-hal terkait dunia persekolahan. Karena itulah, harapan saya moga
bisa ditiru. Mari kita buka ruang apresiasi. Dengarkan suara mereka. Dan ajak
pula merkea sebagai "anggota" keluarga di sekolah.
2. Bagaimana pendapat Anda tentang
Fisika?
Setidaknya ini menyadarkan saya bahwa ada
persepsi lain yang membedakan dari insan satu dan lainnya. Betul saya mencintai
Fisika, namun apakah objek kita mengalami hal sama? Rasanya perlu pembuktian
dengan soal ini. Khawatir saya, siapa tahu mengajar terlalu serius. Sementara
pihak lain mengalami "kegagalan minat". Sudah tertanam pada benak anak kita
bahwa Fisika itu rumit. Membayang-bayangi kehidupan. Merusak tatanan
perkembangan anak. Inilah misteri yang perlu ada solusi. Ingat kata-kata
ini:
"Mengapa pola mengajar yang terbaik tidak
menghasilkan apresiasi yang baik? Karena sang anak tidak mencintai
pelajaran."
3. Bagaimana pendapat Anda mengenai
guru-guru di sekolah ini?
Nah, ini paling kompleks dan menarik apabila
melihat jawaban siswa. Ada yang menjawab,
".Baik-baik, juga sebagian sih."
Artinya mayoritas "tidak diminati". Apa jadinya jika guru menjadi tampilan tidak
diminati? Percuma mengajar. Yang tampil di depan hanyalah sosok ditakuti, bukan
dicintai. Bukankah pendidikan itu melahirkan cinta?
Ada pula menjawab,
"Beberapa guru cara mengajarnya kurang
baik." Ini lagi menjadi titik persoalan. Mengapa tidak bisa
"berkembang" wahai guru? Bukankah angket setahun lalu, bahkan 5 tahun lalu pun
mendapat jawaban yang sama?
"Beberapa guru cara mengajarnya kurang
baik."
Ingat wahai guru, tidak ada rambu "stop" tatkala
profesi guru disandang. Yang ada "Menjadi Lebih baik dari hari ke
hari."
Bukalah mata kita, siswa adalah manusia yang
butuh pola interaksi yang baik pula. Jadilah gurunya manusia.
4. Bagaimana pendapat Anda mengenai orang
tua sendiri?
Saat menyampaikan soal ini, serentak siswa pada
diam. Entah mengapa, apakah karena soal ini paling gampang di jawab atau sedih
untuk dijawab. Hanyalah jawaban angket memberikan gambaran. Mari kita lihat apa
jawaban mayoritas anak-anak kita,
".kadang saya merasa
jengkel,."
".kadang-kadang saya juga
marah.."
".Orang tua saya terlalu menekan saya.
"
".Abi jarang di rumah memerhatikan
saya.."
"..Ayah orangnya pelit, galak, dan tidak
pernah memperhatikan saya."
Dan saya terdiam saat melihat jawaban ini,
"Orang tua saya termasuk orang tua yang
belum sukses mendidik anaknya sendiri."
Subhanalloh..
Apa yang dilakukan selama ini? Mencari karir?
Namun, mencederai anak sendiri. Memang betul bukan fisik dilukai. Tapi, apakah
kita sadar, luka dalam hati lebih perih? Kita tak menyadarkan diri, bahwa karir
tersukses adalah "karir" di rumah. Bagaimana melayani anak. Memberikan kasih
sayang. Walaupun tak ada uang didapat. Uang bukanlah tolak ukur kebahagiaan.
Sudah banyak insan begitu berlimpah ruah kekayaan. Namun, tanyakan soal ini:
"Apakah Anda bahagia bersama
kekayaan?"
Mereka menjawab: TIDAK. Family
is important. Tidak ada kebahagiaan termulia, selain keluraga. Bersama senyum
simpul, memeluk, mencintai. Dan aneka ragam kebahagiaan.
Ah, rasanya malu saya menjadi guru jika tak
menjadi orang tua kedua bagi mereka. Meskipun belum berkeluarga, setidaknya
sudah memiliki anak 200 orang. Sangat berbagahagialah diri ini, saat bersama
mereka.
Saya tiba-tiba "terperangah" melihat jawaban anak
yang satu ini,
"Saya tak dapat berkomentar tentang ibu,
sebab dari kecil saya tak pernah melihatnya akibat telah dipanggil
Alloh."
Nak, izinkan saya menjadi orang tuamu kedua.
Bersama bapak mengaruhi badai kehidupan.
0 comments:
Post a Comment
Silahkan diisi, komentar Anda sangat membangun: بارك الله فيك