بِسْمِ-اللهِ-الرَّحْمنِ-الرَّحِيم
Kalau
ada mengatakan menulis itu mudah, saya rasa itu sekedar provokasi keliru. Sebab,
menulis itu bukanlah hal instan. Harus ada kebiasaan dan tulisan orang-orang itu
murni dari niat ikhlas. Karena itulah, mencoba lagi membagi kepada rekan-rekan
sekalian pristiwa apa terjadi bersama saya.
Sore
tadi, sempat berdialog bersama ibu saat saya sedang makan. Tiba-tiba tanda
diminta, seekor kucing mengeong. Jelas sekali visi kucing itu. Ada 'keperluan'
perut hendak ia konsumsi. Semacam pinta memenuhi kebutuhan fisik. Ibu lantas
memberi saran,
"Nandar, beri sebagian
makananmu sama kucing!"
Dengan segera saya memberi tulang
ayam ke kucing itu. Beberapa selang, saya menimpali,
"Ma, kok kucing bisa hidup ya?
Padahal dia kan bukan PNS (Pegawai Negeri Sipil)?"
Diam-diam ibu tertegun.
Sengaja berkata demikian, bukan
tanpa maksud. Jamak bersama kita, mendengar 'omongan' orang tua dan kawan-kawan,
katanya:
"Hidup kamu akan bahagia kalau
PNS. Kalau tidak, kamu akan rugi! Tidak sukses!"
Setuju?
Merupakan hal 'bodoh' kalau kita
latah tanpa mengecek stigma seperti itu. Lagian, mereka berkata demikian karena
persepsi mereka sudah di bangun di atas doktrin 'dunia itu sempit'. Tidak ada
lagi ruang kerja, kecuali PNS. Cobalah ganti, bertanya kepada para wirausahawan,
mereka malah membantah, "PNS itu sok tau soal kehidupan, padahal kalau menimbang
kekayaan mereka kalah dari kami."
Namun, kali ini bukan tujuan saya
mempertentangkan 2 profesi itu. Saya hanya membagi persoalan bagaimana seorang
hamba itu mencari nafkah. Berusaha menjaga diri dari minta-minta. Yang kemudian
menggantinya tangan di atas.
Sebagai suami hendaknya tidak
melupakan mengenai kewajibannya yang harus ia tunaikan agar tercapai impian
keluarga sakinah. Salah satunya dengan mencari nafkah. Menyediakan kebutuhan
finansial, mengenyangkan perut keluarga, memfasilitasi kebutuhan istri, dan
keperluan lainnya yang bersifat primer.
Sementara, dilingkungan sekitar
kita, sudah 'menyelimuti' zaman kiwati yang sangat matrealistis & hedon,
bukan hal mudah hidup dengan sifat keterbatasan. Sehingga butuh 'kedewasaan'
berpikir, bagaimana langkah ditempuh, meracik trik, hingga mendapatkan solusi
dalam perkara ini.
Begitupula seorang anak, bukanlah
kebaikan apabila hanya berdiam diri di rumah. Sementara kedudukan ia telah
baligh. Memiliki indra berarti identik memiliki 'kesanggupan' mencari nafkah
buat keluarga. Sangat berbeda antara dibiayai dan membiayai. Perbedaan hanya di
imbuhan. Namun, dari sektor aplikasi, rasanya imbuhan 'me-' lebih dewasa.
Di
kalangan masyarakat, kerap tidak memberikan penghargaan bagi seseorang yang
memiliki prestasi 'keimanan'. Apa itu prestasi 'keimanan'? Perhatikanlah seorang
suami yang patuh mengikuti 5 shalat wajib di masjid, simaklah anak rajin ikut
ta'lim, bukalah mata pada seorang istri yang mematuhi suaminya. Inilah
contoh-contoh konkrit prestasi 'keimanan' itu. Namun, bersamaan dengan itu,
kadang pribadi kita tidak menghargai itu, malahan kita lebih 'menyimak' prestasi
lahiriah seseorang. Dan melupakan ada 'batin' di sana lebih jujur.
Kita
mengajukan jempol pada insan 'berdompet tebal', dan mengarahkan jempol ke bawah
pada hamba 'beriman tebal'. Malu rasa diri ini. Dimanakah hati kita sebenarnya?
Bukankah ketenangan ada di dalam hati? Dan sebab-sebab mencari hati itu sudah
kita dapat dengan melihat aturan agama? Mengapa harus keluar dari koridor
itu?
Kita
telah buta, rabun. Bukan mata ini yang buta, tetapi hati telah 'mati'.
Astagfirullloh.
Lumrah orang mengatakan
mengatakan, 'belum jadi 'orang' kalau belum kaya'. Bahkan, lebih tragis, 'belum
jadi 'orang' jika belum PNS?'
Apakah ada ayat?
Ada hadits yang shohih
mendukung 'Siapa yang belum jadi 'orang' kalau belum
kaya'?
Kita
tidak membenci kekayaan. Tidak!
Yang
keliru yakni saat kita melupakan sisi 'batin' seorang hamba. Dan disinilah
kekayaan sesungguhnya. 'The comfort zone'.
Ah,
malu rasanya diri ini. Malu saat 'mematenkan' sisi lahiriah dalam menilai
seseorang.
Saatnya kita mengoreksi diri
kembali, mengecek diri ini, mendiagnosa bagian batin. Siapa tahu, kitalah
orang-orang itu yang hanya menilai dari lahiriah.
Bukan artinya dengan mengepankan
bathiniah artinya menyepelekan lahiriah. Ini persoalan prioritas dalam memilih
orientasi kehidupan. Bagi orang yang mengutamakan prestasi 'keimanannnya', insya
Alloh, Alloh-lah pemberi rezki itu.
Rosululloh Shallollallohu
'Alayi Wasallam bersabda : Sungguh seandainya kalian bertawakkal
kepada Allah dengan tawakkal yang sebenar-benarnya, niscaya kalian akan diberi
rezeki sebagaimana rezeki burung, mereka berangkat pagi-pagi, dalam keadaan
lapar, dan pulang sore hari dalam keadaan kenyang. (HR. At-Turmuzi)
Semoga hari-hari ke dapan. Tidak
ada lagi 'vonis' semerautan. Biarlah kita menjadikan 'bathin' lebih baik dulu.
Yang kemudian berusaha mencari nafkah untuk 'lahiriah' sebagaimana kutipan
hadits di atas.
13 Februari 2012
بارك الله فيك