بِسْمِ-اللهِ-الرَّحْمنِ-الرَّحِيم
Ibuku tercinta menjelang magrib memanggil seorang
penjual gas dari jarak jauh. Menimbang gas di rumah menjelang habis dan
menimbang musim hujan semakin larut. Tawar menawapun terjadi. Dia menjual dengan
harga Rp 11.000/gas yang 3 kg. Ibuku tercinta sudah sepakat harga, tapi
dibarengi dengan permohonan, "Bisa dipasangkan?" Sang penjual pun tidak merestui
hal itu, ia berangkat dengan laju meninggalkan rumah idaman saya. Sementara
hujan kian menderas.
Sempat saya menoleh kepada orang itu sebelumnya,
maksudnya penjual tadi, dan saya teringat, "Kayaknya itu guru!"
Wah, saya kaget, sembari memikir, "Kenapa guru ini menjual
gas?" Bukannya status PNS sudah patut dibanggakan, toh setifikasi sudah
di pundak. Teringat saya gaji PNS, sudah melambung, kisaran 3 juta lebih. Belum
lagi, tunjungan sertifikasi.
Lanjut, saya menginformasikan ke orang tua, "Ma',
tadi itu guruku, teman mengajar!" Ibu menyambut heran, "Haahhh, ..
Kenapa kamu tidak bilang dari tadi!" Dalam hati berbisik, "Sudahla,
Ma', nasi sudah menjadi basi, apalah artinya melihat sejarah lampau. Itu kan
membuka pintu syaiton!"
Menarik dan sedih saya membahas ini. Ketertarikan
saya, karena ia mencontohkan "pribadi" biasa. Tidak memperdulikan profesi
menjanjikan ini: PNS [GURU]. Dan kesedihan saya, karena ia menopang puluhan gas
3 kg hanya dengan sepeda motornya. Layaknya gambar di atas. Tapi, yang di atas
cuma ilustrasi.
Duhai, betapa diri ini malu, malu terhadap
kemalasan mencari nafkah untuk kebutuhan hidup. Bukankah pribadi di atas sebagai
cermin bagi setiap guru. Perlu perjuangan keras. Memang malu pasti ada, namun
jangan sampai mendominasi diri. Sehingga tidak melangkah.
Ia telah menggambarkan dirinya sebagai suami
ideal, mari kita simak ayat al-Qur'an menyentil kedudukan suami menafkahi
istri,
"Hendaklah orang yang diberi kelapangan
memberikan nafkah sesuai dengan kelapangannya dan barangsiapa disempitkan
rizkinya maka hendaklah ia memberi nafkah dari harta yang Allah berikan
kepadanya. ." (Ath-Thalaq: 7)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu ketika
menafsirkan ayat dalam surah Al-Baqarah di atas, menyatakan, "Maksud dari ayat
ini adalah wajib bagi seorang ayah untuk memberikan nafkah kepada para ibu yang
melahirkan anak-anaknya serta memberi pakaian dengan ma'ruf, yaitu sesuai dengan
kebiasaan yang berlangsung dan apa yang biasa diterima/dipakai oleh para wanita
semisal mereka, tanpa berlebih-lebihan dan tanpa mengurangi, sesuai dengan
kemampuan suami dalam keluasan dan kesempitannya." (Tafsir Ibnu Katsir,
1/371)
***
Saudaraku yang baik, janganlah kita menganggap
usaha yang di mata manusia fobi, menyebabkan kita lari dan malu. Sudah banyak
pribadi teragung, tapi toh memberikan contoh kesederhanaan. Lihatlah, Pak Dahlan
Iskan. Hanya menaiki kereta api menuju "medan" kerja.
Dan masih banyak lagi, fenomena "mencengangkan"
kita, karena mereka keluar dari pemikiran "malu" mencari nafkah.
26 Desember 2011 بارك الله فيك
0 comments:
Post a Comment
Silahkan diisi, komentar Anda sangat membangun: بارك الله فيك