Monday, June 3, 2013

"Orang Tua Saya Termasuk Orang Tua yang Belum Sukses Mendidik Anaknya Sendiri."

بِسْمِ-اللهِ-الرَّحْمنِ-الرَّحِيم
Saat berada di sekolah, selau ada perkara baru saya buat. Bukan berarti ini aksi "bid'ah" saya, hanya semacam pembaruah gaya dan metode pembelajaran. Stasus di SMA yang tempati, bukanlah sosok menduduki jabatan istimewa. Sekedar membatu saja guru yang saat ini mengambil cuti hamil. Insya Alloh, bulan 3 sudah melahirkan. Dan artinya, sedikit lagi limit waktu meninggalakan para siswa dan lingkungan berkesan itu.
"Tidak usah kecewa!" Itulah kalimat yang bisa kita pakai saat mengalami kekecewaan. Wong, dalam perjumpaan pasti ada perpisahan.
Oleh karena itu, saat memasuki kelas perdana, saya sempatkan memberi angket kepada siswa. Memandatkan agar menuliskan:
Nama :
No. HP :
FB :
Twitter :
Alamat :
Niat menanyakian identitas di atas, adalah semacam bentuk perhatian kita selaku guru. Setidaknya memberikan spirit walaupun bentuk SMS (mendakwahi, memotivasi, memberikan kata-kata mutiara), melihat FB mereka setidaknya mengetahui keluhan-keluhannya, melihat alamatnya setidaknya bisa silaturrahmi sebagai bentuk apresiasi kekawanan kita bersama siswa.
Yang kemudian dilanjutkan memberi beberapa soal-soal kehidupan sekolah dan rumah mereka. Saya menanyai:
1. Bagaimana pendapat Anda tentang SMA ini?
Ini sebagai barometer kesuksesan tatanan sekolah sendiri. Merefleksi "kebetahan" siswa dalam habitatnya masing-masing. Jangan jamak menafsirkan sekolah itu baik, namun "Penduduk" di dalamnya mengalami kejenuhan. Dan ini kerap kita lupakan, "suara siswa" kita sendiri. Teringatlah saya saat masih duduk di bangku SMA. Ada sebuah kota saran di tempatkan depan perpustakaan. Orientasinya agar ada ruang kritik pada perkembangan pelajaran, sarana, dan hal-hal terkait dunia persekolahan. Karena itulah, harapan saya moga bisa ditiru. Mari kita buka ruang apresiasi. Dengarkan suara mereka. Dan ajak pula merkea sebagai "anggota" keluarga di sekolah.
2. Bagaimana pendapat Anda tentang Fisika?
Setidaknya ini menyadarkan saya bahwa ada persepsi lain yang membedakan dari insan satu dan lainnya. Betul saya mencintai Fisika, namun apakah objek kita mengalami hal sama? Rasanya perlu pembuktian dengan soal ini. Khawatir saya, siapa tahu mengajar terlalu serius. Sementara pihak lain mengalami "kegagalan minat". Sudah tertanam pada benak anak kita bahwa Fisika itu rumit. Membayang-bayangi kehidupan. Merusak tatanan perkembangan anak. Inilah misteri yang perlu ada solusi. Ingat kata-kata ini:
"Mengapa pola mengajar yang terbaik tidak menghasilkan apresiasi yang baik? Karena sang anak tidak mencintai pelajaran."
3. Bagaimana pendapat Anda mengenai guru-guru di sekolah ini?
Nah, ini paling kompleks dan menarik apabila melihat jawaban siswa. Ada yang menjawab,
".Baik-baik, juga sebagian sih." Artinya mayoritas "tidak diminati". Apa jadinya jika guru menjadi tampilan tidak diminati? Percuma mengajar. Yang tampil di depan hanyalah sosok ditakuti, bukan dicintai. Bukankah pendidikan itu melahirkan cinta?
Ada pula menjawab,
"Beberapa guru cara mengajarnya kurang baik." Ini lagi menjadi titik persoalan. Mengapa tidak bisa "berkembang" wahai guru? Bukankah angket setahun lalu, bahkan 5 tahun lalu pun mendapat jawaban yang sama?
"Beberapa guru cara mengajarnya kurang baik."
Ingat wahai guru, tidak ada rambu "stop" tatkala profesi guru disandang. Yang ada "Menjadi Lebih baik dari hari ke hari."
Bukalah mata kita, siswa adalah manusia yang butuh pola interaksi yang baik pula. Jadilah gurunya manusia.
4. Bagaimana pendapat Anda mengenai orang tua sendiri?
Saat menyampaikan soal ini, serentak siswa pada diam. Entah mengapa, apakah karena soal ini paling gampang di jawab atau sedih untuk dijawab. Hanyalah jawaban angket memberikan gambaran. Mari kita lihat apa jawaban mayoritas anak-anak kita,
".kadang saya merasa jengkel,."
".kadang-kadang saya juga marah.."
".Orang tua saya terlalu menekan saya. "
".Abi jarang di rumah memerhatikan saya.."
"..Ayah orangnya pelit, galak, dan tidak pernah memperhatikan saya."
Dan saya terdiam saat melihat jawaban ini,
"Orang tua saya termasuk orang tua yang belum sukses mendidik anaknya sendiri."
Subhanalloh..
Apa yang dilakukan selama ini? Mencari karir? Namun, mencederai anak sendiri. Memang betul bukan fisik dilukai. Tapi, apakah kita sadar, luka dalam hati lebih perih? Kita tak menyadarkan diri, bahwa karir tersukses adalah "karir" di rumah. Bagaimana melayani anak. Memberikan kasih sayang. Walaupun tak ada uang didapat. Uang bukanlah tolak ukur kebahagiaan. Sudah banyak insan begitu berlimpah ruah kekayaan. Namun, tanyakan soal ini:
"Apakah Anda bahagia bersama kekayaan?"
Mereka menjawab: TIDAK. Family is important. Tidak ada kebahagiaan termulia, selain keluraga. Bersama senyum simpul, memeluk, mencintai. Dan aneka ragam kebahagiaan.
Ah, rasanya malu saya menjadi guru jika tak menjadi orang tua kedua bagi mereka. Meskipun belum berkeluarga, setidaknya sudah memiliki anak 200 orang. Sangat berbagahagialah diri ini, saat bersama mereka.
Saya tiba-tiba "terperangah" melihat jawaban anak yang satu ini,
"Saya tak dapat berkomentar tentang ibu, sebab dari kecil saya tak pernah melihatnya akibat telah dipanggil Alloh."
Nak, izinkan saya menjadi orang tuamu kedua. Bersama bapak mengaruhi badai kehidupan.

9 Februari 2012

بارك الله فيك

0 comments:

Post a Comment

Silahkan diisi, komentar Anda sangat membangun: بارك الله فيك