Alhamdulillah, Web Kusnandar Putra Launching

Alhamudlillah, web terbaru Kusnandar Putra sudah diterbitkan. Semoga bisa memberikan kebaikan.

Makassar Sambut 2013 dengan Ketupat

Pasar Pa'baeng-Baeng yang terletak di Jalan Sultan Alauddin, Kota Makassar, kini dibanjiri pengunjung. Layaknya berlebaran, H-1 di pasar ini membuat jalan macet. Bentor, motor, mobil, termasuk dalam kategori terjebak dalam arus kemacetan. Para pejalan kakipun antri untuk berjalan.

Agar Engkau Bahagia

Semoga Alloh menjadikanmu termasuk orang-orang yang apabila diberi kenikmatan, maka bersyukur. Apabila ditimpa musibah, maka bersabar, dan apabila terjatuh dalam perbuatan dosa, maka beristigfar.

Arena Maaf

Aktor-aktor seperti ini yang sukar mengubar maaf, tentunya mencari iklim tertentu dalam pelontaran kata maaf. Sehingga 2 titik kuasa di antar bulan romadhon sebagai ajang pemanfaatan: Pra Romadhon dan Pasca Romadhon.

Terharu: Anak yang Buta Melantunkan Adzan

Tahukah Anda siapa yang adzan di masjd dekat rumah sy tadi? Ya, ia adalah seorang anak kecil. Ukuran 4 SD lah. Sungguh, suaranya melengking, begitu menyentuh,

Tuesday, April 2, 2013

Kok Bisaaa???? Hanya Penjual Gas Keliling, Pendapatannya 3 Juta Lebih Per Bulan [Siapa Sebenarnya Dia!!???]

بِسْمِ-اللهِ-الرَّحْمنِ-الرَّحِيم
Ibuku tercinta menjelang magrib memanggil seorang penjual gas dari jarak jauh. Menimbang gas di rumah menjelang habis dan menimbang musim hujan semakin larut. Tawar menawapun terjadi. Dia menjual dengan harga Rp 11.000/gas yang 3 kg. Ibuku tercinta sudah sepakat harga, tapi dibarengi dengan permohonan, "Bisa dipasangkan?" Sang penjual pun tidak merestui hal itu, ia berangkat dengan laju meninggalkan rumah idaman saya. Sementara hujan kian menderas.
Sempat saya menoleh kepada orang itu sebelumnya, maksudnya penjual tadi, dan saya teringat, "Kayaknya itu guru!" Wah, saya kaget, sembari memikir, "Kenapa guru ini menjual gas?" Bukannya status PNS sudah patut dibanggakan, toh setifikasi sudah di pundak. Teringat saya gaji PNS, sudah melambung, kisaran 3 juta lebih. Belum lagi, tunjungan sertifikasi.

Lanjut, saya menginformasikan ke orang tua, "Ma', tadi itu guruku, teman mengajar!" Ibu menyambut heran, "Haahhh, .. Kenapa kamu tidak bilang dari tadi!" Dalam hati berbisik, "Sudahla, Ma', nasi sudah menjadi basi, apalah artinya melihat sejarah lampau. Itu kan membuka pintu syaiton!"

Menarik dan sedih saya membahas ini. Ketertarikan saya, karena ia mencontohkan "pribadi" biasa. Tidak memperdulikan profesi menjanjikan ini: PNS [GURU]. Dan kesedihan saya, karena ia menopang puluhan gas 3 kg hanya dengan sepeda motornya. Layaknya gambar di atas. Tapi, yang di atas cuma ilustrasi.

Duhai, betapa diri ini malu, malu terhadap kemalasan mencari nafkah untuk kebutuhan hidup. Bukankah pribadi di atas sebagai cermin bagi setiap guru. Perlu perjuangan keras. Memang malu pasti ada, namun jangan sampai mendominasi diri. Sehingga tidak melangkah.

Ia telah menggambarkan dirinya sebagai suami ideal, mari kita simak ayat al-Qur'an menyentil kedudukan suami menafkahi istri,

"Hendaklah orang yang diberi kelapangan memberikan nafkah sesuai dengan kelapangannya dan barangsiapa disempitkan rizkinya maka hendaklah ia memberi nafkah dari harta yang Allah berikan kepadanya. ." (Ath-Thalaq: 7)


Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu ketika menafsirkan ayat dalam surah Al-Baqarah di atas, menyatakan, "Maksud dari ayat ini adalah wajib bagi seorang ayah untuk memberikan nafkah kepada para ibu yang melahirkan anak-anaknya serta memberi pakaian dengan ma'ruf, yaitu sesuai dengan kebiasaan yang berlangsung dan apa yang biasa diterima/dipakai oleh para wanita semisal mereka, tanpa berlebih-lebihan dan tanpa mengurangi, sesuai dengan kemampuan suami dalam keluasan dan kesempitannya." (Tafsir Ibnu Katsir, 1/371)

***

Saudaraku yang baik, janganlah kita menganggap usaha yang di mata manusia fobi, menyebabkan kita lari dan malu. Sudah banyak pribadi teragung, tapi toh memberikan contoh kesederhanaan. Lihatlah, Pak Dahlan Iskan. Hanya menaiki kereta api menuju "medan" kerja.

Dan masih banyak lagi, fenomena "mencengangkan" kita, karena mereka keluar dari pemikiran "malu" mencari nafkah.
26 Desember 2011
بارك الله فيك

Gaji Tak Menjamin Ketenangan, Kawan

بِسْمِ-اللهِ-الرَّحْمنِ-الرَّحِيم
Gaji 3,4 juta per bulan plus jaminan kesehatan plus bonus per 3 bulan, ternyata tak bisa memberikan ketenangan dalam hati. Itulah kondisi kawan saya yang baru-baru ini mengundurkan diri dari sebuah perusahaan motor di Makassar dengan pertimbangan matang. Pasalnya, jam kerja sangat panjang dari pukul 8 pagi hingga 9 malam. Efeknya berimbas pada ibadah. Bukan telat waktu. Tapi, ketika sholat, dalam pemikiran hanya agenda kerja selanjutnya, tugas yang masih dipending. Naudzubillah.

Maka ia pun berhijrah. Tapi, ada 1 alasan paling mendalam, ia sangat iri pada teman yang tidak memiliki pekerjaan. Namun, ia selalu tepat waktu sholat, pakaiannya muslim, tak ada beban dipikirannya. Daripada dirinya bertumpuk beban kerja, sholat berpakaian seragam, sangat tidak koheren.

Sekarang kita tahu, yang membuat kita bahagia bukan uang, tapi ketenangan dalam ibadah. Bekerja tak semestinya mengorbankan ibadah.
5 Januari 2012

بارك الله فيك

Hanya Berdagang Sosis, Motornya 90-an, Untuk Apa Kamu Dibanggakan?

بِسْمِ-اللهِ-الرَّحْمنِ-الرَّحِيم
Sepulang shalat isya, merupakan momen tak terkira datangnya. Adalah penjual sosis. Dahulunya ia berdangan "somai", namun faktor perhitungan hasil dan teknis penyajiannya cukup lama, maka berlalihlah ke "sosis". Memang salah satu pintu rezki teragung adalah via dagangan, transaksi jual beli, apalagi fokusnya pada makanan. Mengapa? Karena ada kontribusi asupan perut kepada pihak lain, seolah-olah tumbuhnya "daging manusia", "tingginya ukuran tubuh", dipengaruhi keberadaan penjual makanan.

Nah, baru tadi mendapat kesempatan emas, berada di bekang motor tahun 1990-an serasa hal langka. Di saat kita jamak bersama motor kontemporer. Motor keluaran terbaru dari beraneka produksi. dan terkadang kita terhimpit degannya, bukan karena motornya sempit, melainkan cicilan motor yang kian dipikirkan tiap bulan.

Hmm.

Angin sejuk menerpa tubuh, keringat yang tadinya hampir keluar, kembali masuk ke dalam tubuh. Memang, kadang hal lama itu memberikan warna tersendiri. Ada rasa kangen memendam dalam diri. Motor lama, berimbas pada kekangenan lama pula.

Saat itu, dalam perjalanan, rekan penjual mengutarakan keutamaan motornya, "Ini lebih baik stirnya, tidak goyang seperti motornya Fulan!" Wah, kebanggaan itu bukanlah identik dengan "riya", setidaknya "bersyukur" dari pemberian Alloh. Meskipun motor itu hanya seharga Rp 800.000, akan tetapi bisa difungsikan menuju rumah Alloh menegakkan shalat 5 waktu.

Kadang kita terlalu manja bersama fasilitas dunia, dan menutup mata pada pemanfaatan bermajelis ilmu agama. Jangankan menggunakan motor, niatpun tak muncul sedikitpun. Sementara ilmu lebih utama ketimbang harta. Harta malah kita menjaganya, akan tetapi ilmu, malah kita yang dijaganya.

Hmm.

Taman sejuk bersama pedagang sosis. Tak terlupakan memonya. Ada sesuatu paling berkesan. Karena pedangan itu, adalah pecinta ilmu. Bayangkan, sambil berdangan, di etalase jualannya tersimpan pula buku bacaan agama. Saat tak ada lagi konsumen, mulailah ia menyelami ilmu via bacaan. Merupakan hal jarang kita lihat, kebanyakannya pedangan belakangan ini hanya berorientasi dunia. Menjual sembari meninggalkan ilmu agama. Menjual tapi tak ada berkah ketika menerima hasil jualan.

Hmm.

Rasanya beruntung mendapatkan sahabat pedangan "sosis" yang mencintai ilmu agama. Ketimbang meraih sahabat "berkantong tebal", membenci ilmu keselamatan dunia dan akhiratnya. Naudzubillah.
5 Februari 2012

بارك الله فيك

Bisnis Pulsa, Trend Anak Muda

بِسْمِ-اللهِ-الرَّحْمنِ-الرَّحِيم
Saya mulai dari awal. Beberapa bulan yang lalu, adalah masa dimana saya tidak ada potensi "kerja" secara signifikan. Semacam usaha dimasa peruntukan di rumah sendiri belum ada. Gejolak bekerja memang butuh ditampilkan, namun sangat berbeda antara bekerja di luar dengan bekerja di rumah sendiri.

Harus ada "cadangan", siapa tahu tanpa diinginkan muncul "PHK". Bagaimana kira-kira? Sementara belum ada persiapan yang matang? Atau tatkala pensiun menyapa. Sudahkah kita mempersiapkan?

Oleh karena itu, jalan pintas dan mudah, muncullah dalam benak saya "berdagang pulsa". Ini adalah pekerjaan yang tidak terlalu menyita waktu dan tenanga. Pasalnya, sekedar pandai memencet tombol, maka bisnis jalan.
Bukan hal mudah bagi saya, bagaimana memulai bisnis ini. Namun, tak ada kata menyerah. Meskipun rasa "minder" menyelimuti, maka tetap jangan kalah. Teringat saya perkataan teman,

"Jangan sampai ketakutanmu, mengalahkan keberanianmu."
Dengan hal itu, ACC lah bisnis itu dalam hati. Mulai dari pola desain yang kemudian dibantu oleh kawan. Sebenarnya bisa buat sendiri, meletakkan seni grafis, tetapi saat itu lagi menuai kesibukan.

Keinginan berusaha sejak kecil harus segera dimulai. Jangan terlambat. Bukan keuntungan yang saya kejar. Bukan kekayaan yang menjadi orientasi awal merintis usaha ini. Hanya sekedar membantu orang lain, agar tidak jauh melangkah membeli pulsa.

Sangat berbeda antara menjual dan membantu. Ada sektor pendalaman niat yang membedakan. Kalau membantu rasanya tidak ada kata rugi, sebab asal transaksi adalah "memobilisasi". Sementara, menjual, selalu mengedepankan duit. Tidak ada salah dalam hal ini, menjual dengan visi "kaya" itu tidak masalah. Persoalannya terletak pada "prioritas" saja. Apakah menjual dengan rating tertinggi untuk tajir or membantu? Sekali lagi life is choise.
Sengaja mengambil nama logo "almakassari". Mengapa?

Saya terinspirasi dengan situs www.almakassari.com
Saya hanya berusaha menjembatani tetangga, menggalang kemudahan. Semoga ini menjadikan saya lebih dewasa. Meskipun status hanyalah mahasiswa.
11 Februari 2012
بارك الله فيك

Belum PNS? Engkau Belum Jadi 'Orang'

بِسْمِ-اللهِ-الرَّحْمنِ-الرَّحِيم
Kalau ada mengatakan menulis itu mudah, saya rasa itu sekedar provokasi keliru. Sebab, menulis itu bukanlah hal instan. Harus ada kebiasaan dan tulisan orang-orang itu murni dari niat ikhlas. Karena itulah, mencoba lagi membagi kepada rekan-rekan sekalian pristiwa apa terjadi bersama saya.

Sore tadi, sempat berdialog bersama ibu saat saya sedang makan. Tiba-tiba tanda diminta, seekor kucing mengeong. Jelas sekali visi kucing itu. Ada 'keperluan' perut hendak ia konsumsi. Semacam pinta memenuhi kebutuhan fisik. Ibu lantas memberi saran,

"Nandar, beri sebagian makananmu sama kucing!"
Dengan segera saya memberi tulang ayam ke kucing itu. Beberapa selang, saya menimpali,

"Ma, kok kucing bisa hidup ya? Padahal dia kan bukan PNS (Pegawai Negeri Sipil)?"
Diam-diam ibu tertegun.

Sengaja berkata demikian, bukan tanpa maksud. Jamak bersama kita, mendengar 'omongan' orang tua dan kawan-kawan, katanya:

"Hidup kamu akan bahagia kalau PNS. Kalau tidak, kamu akan rugi! Tidak sukses!"
Setuju?
Merupakan hal 'bodoh' kalau kita latah tanpa mengecek stigma seperti itu. Lagian, mereka berkata demikian karena persepsi mereka sudah di bangun di atas doktrin 'dunia itu sempit'. Tidak ada lagi ruang kerja, kecuali PNS. Cobalah ganti, bertanya kepada para wirausahawan, mereka malah membantah, "PNS itu sok tau soal kehidupan, padahal kalau menimbang kekayaan mereka kalah dari kami."

Namun, kali ini bukan tujuan saya mempertentangkan 2 profesi itu. Saya hanya membagi persoalan bagaimana seorang hamba itu mencari nafkah. Berusaha menjaga diri dari minta-minta. Yang kemudian menggantinya tangan di atas.
Sebagai suami hendaknya tidak melupakan mengenai kewajibannya yang harus ia tunaikan agar tercapai impian keluarga sakinah. Salah satunya dengan mencari nafkah. Menyediakan kebutuhan finansial, mengenyangkan perut keluarga, memfasilitasi kebutuhan istri, dan keperluan lainnya yang bersifat primer.

Sementara, dilingkungan sekitar kita, sudah 'menyelimuti' zaman kiwati yang sangat matrealistis & hedon, bukan hal mudah hidup dengan sifat keterbatasan. Sehingga butuh 'kedewasaan' berpikir, bagaimana langkah ditempuh, meracik trik, hingga mendapatkan solusi dalam perkara ini.

Begitupula seorang anak, bukanlah kebaikan apabila hanya berdiam diri di rumah. Sementara kedudukan ia telah baligh. Memiliki indra berarti identik memiliki 'kesanggupan' mencari nafkah buat keluarga. Sangat berbeda antara dibiayai dan membiayai. Perbedaan hanya di imbuhan. Namun, dari sektor aplikasi, rasanya imbuhan 'me-' lebih dewasa.

Di kalangan masyarakat, kerap tidak memberikan penghargaan bagi seseorang yang memiliki prestasi 'keimanan'. Apa itu prestasi 'keimanan'? Perhatikanlah seorang suami yang patuh mengikuti 5 shalat wajib di masjid, simaklah anak rajin ikut ta'lim, bukalah mata pada seorang istri yang mematuhi suaminya. Inilah contoh-contoh konkrit prestasi 'keimanan' itu. Namun, bersamaan dengan itu, kadang pribadi kita tidak menghargai itu, malahan kita lebih 'menyimak' prestasi lahiriah seseorang. Dan melupakan ada 'batin' di sana lebih jujur.

Kita mengajukan jempol pada insan 'berdompet tebal', dan mengarahkan jempol ke bawah pada hamba 'beriman tebal'. Malu rasa diri ini. Dimanakah hati kita sebenarnya? Bukankah ketenangan ada di dalam hati? Dan sebab-sebab mencari hati itu sudah kita dapat dengan melihat aturan agama? Mengapa harus keluar dari koridor itu?
Kita telah buta, rabun. Bukan mata ini yang buta, tetapi hati telah 'mati'. Astagfirullloh.

Lumrah orang mengatakan mengatakan, 'belum jadi 'orang' kalau belum kaya'. Bahkan, lebih tragis, 'belum jadi 'orang' jika belum PNS?'

Apakah ada ayat?
Ada hadits yang shohih mendukung 'Siapa yang belum jadi 'orang' kalau belum kaya'?
Kita tidak membenci kekayaan. Tidak!
Yang keliru yakni saat kita melupakan sisi 'batin' seorang hamba. Dan disinilah kekayaan sesungguhnya. 'The comfort zone'.
Ah, malu rasanya diri ini. Malu saat 'mematenkan' sisi lahiriah dalam menilai seseorang.

Saatnya kita mengoreksi diri kembali, mengecek diri ini, mendiagnosa bagian batin. Siapa tahu, kitalah orang-orang itu yang hanya menilai dari lahiriah.

Bukan artinya dengan mengepankan bathiniah artinya menyepelekan lahiriah. Ini persoalan prioritas dalam memilih orientasi kehidupan. Bagi orang yang mengutamakan prestasi 'keimanannnya', insya Alloh, Alloh-lah pemberi rezki itu.

Rosululloh Shallollallohu 'Alayi Wasallam bersabda : Sungguh seandainya kalian bertawakkal kepada Allah dengan tawakkal yang sebenar-benarnya, niscaya kalian akan diberi rezeki sebagaimana rezeki burung, mereka berangkat pagi-pagi, dalam keadaan lapar, dan pulang sore hari dalam keadaan kenyang. (HR. At-Turmuzi)
Semoga hari-hari ke dapan. Tidak ada lagi 'vonis' semerautan. Biarlah kita menjadikan 'bathin' lebih baik dulu. Yang kemudian berusaha mencari nafkah untuk 'lahiriah' sebagaimana kutipan hadits di atas.
13 Februari 2012
بارك الله فيك

Aku Bangga 'Belum' Sarjana

بِسْمِ-اللهِ-الرَّحْمنِ-الرَّحِيم
Pasca mendapat SMS rekan kuliah yang sebentar lagi sarjana, saat itulah ada rasa iri hati. Bukan 'sarjananya' menjadi sebab. Hanyalah percepatan teman-teman yang hanya tuntas kurun waktu 4 tahun. Saya saat ini sangat trauma kecil-kecilan.

Sebenarnya ada beberapa penyebab hingga teman sekelas lebih dulu sarjana ketimbang saya nantinya.

1. Saya mengajar di sebuah SMA di Makassar dari Hari Senin-Rabu.
2. Kerja di toko buku hari Kamis-Hingga Ahad
Oleh karena itu, ada semacam tindakan prioritas. Yang manakah mesti diprioritaskan. Soal-soal penyelesaian skripsi atau 2 tugas di atas?

Kalau meninjau dari segi bianggnya, betul bahwa diri sendiri menjadi sumber. Mengapa tidak mau mempercepat kuliah? Akselerasi tugas skripsi?

Alasan saya paling sering: MALAS. Atau banyak kegiatan.
Kalau meninjau dari perbandingan, manakah di dahulukan antara kuliah dan mengajar (sebagaimana point 1), tentu saya dahulukan mengajar. Sebab mengajar itu 'memberikan pelayanan' kepada manusia. Khawatir saya, jika tidak maksimal dalam aplikasi pengajaran, tidak mempersiapkan bekal pengajaran, maka murid menjadi imbasnya. Saya tidak menampilkan yang 'super' kepada mereka, akibat terlalu mementingkan urusan pribadi.

Untuk menjadi guru yang baik, kita harus menyerahkan diri kita, membagi pengalaman hidup, membuat setiap murid merasa istimewa, tertawa, menghubungkan pelajaran dengan kehidupan nyata secara kreatif, membuktikan bahwa ada alasan untuk belajar, membuat murid tersenyum, berkolaborasi dengan rekan kerja, memberikan waktu ekstra untuk murid yang kesulitan, bersenang-senang di kelas, dan melakukan lebih banyak lagi.
Hal inilah, menginspirasi saya untuk memending sementara tugas skripsi. Bukan artinya saya tidak bisa memadukan 2 hal tadi. Bagi saya, mudah untuk 'menyelaraskan' tugas di sekolah dan di kampus. Mudah! Namun, keraguan saya cuma di kata 'maksimal'. Jangan sampai gara-gara tugas kuliah, di sekolah tak ada 'bekas' ilmu pada murid. Karena kalau mengajar, ada baiknya memberikan energi kuat bagi anak. Dan hal ini harus difokuskan.

Karena bagi diri ini, berbeda antara berbuat untuk diri sendiri dan orang lain. Berbuat untuk diri sendiri, artinya saya memilih menuntaskan skripsi. Dan mengajar bagi saya adalah berbuat untuk orang lain. Alasan inilah paling mendasar hingga tidak segera menyelesaikan tugas akhir.

Untuk alasan point ke-2 (Kerja), bekerja adalah proses mahasiswa dalam mencapai kedewasaan. Saya tidak membayangkan, kalau mengutamakan kuliah dan tidak bekerja, mencari pengalaman. Meskipun tidak berkolerasi antara bidang Fisika dan kerja di toko buku, namun di situ ada pelajaran dan etos kerja yang bisa kita petik. Bagaimana melayani pelanggan, itu sama dengan melayani siswa nantinya. Membaca buku di toko buku, artinya aktivitas membaca adalah habit seorang pembelajar pula. Sebab itu, memantapkan diri di lingkungan kerja adalah sebuah pilihan. Because life is choise.
Dua asalan ini masih menyelimuti pikiran saya, dan insya Alloh, bukan interpretasinya malas kuliah. Sekali lagi, hanya permasalahan 'kebutuhan orang lain dan kedewasaan' saja.

Lagi pula, rekan lain sempat bertanya,
"Manakah lebih baik outputnya, kuliah cepat atau telat?"
Maksud rekan ini, ingin memprovokasi bahwa sesungguhnya kuliah dengan tempo cepat, 'rata-rata' tidak begitu maksimal, masih banyak pengalaman kampus ia dapatkan. Seperti buah mangga yang dikarbit, hingga terpaska masak dini. Sementara hasilanya kurang baik. Karena betul sekali, sangat berbeda antara percepatan dan pengalaman. Pengalaman merupakan hal fundamen mengisi ruang-ruang kehidupan. Inilah saya butuhkan saat ini. Dan 'Aku Bangga 'Belum' Sarjana'.

Bismillah.. Mari kita memilih jalan terbaik..
15 Februari 2012
بارك الله فيك

2 Kali Mengundurkan Diri dalam Pekerjaan, Sungguh Bermanfaat

بِسْمِ-اللهِ-الرَّحْمنِ-الرَّحِيم

Kasus Pengunduran Diri sudah menjadi pilihan tepat dan kadang pula pilihan salah jika tidak matang dalam persepsi ke depan. Ini merupakan sebuah kasus yang menghasilkan dualisme resiko: gagal kedua kali, atau berhasil di kemudian hari pasca pengunduran diri.

Saya termasuk mendapatkan kasus seperti ini, dan ini terjadi 2 kali. Pengalaman pertama tentu lebih "menegangkan" layaknya di atas pesawat pada saat angin topan berembus. Persepsi akhir saya adalah, terlalu banyak penyelewengan ibadah yang harus menjadi resiko ketika bekerja. Ambil contoh, solat wajib yang mestinya harus TETAP WAKTU, harus terbelakang, karena urusan kerja yang tak memihak ke agama Islam yang shohih. Sehingga saya pun mengambil keputusan melangkahkan kaki ke jalan lain.

Untuk kedua kalinya pun demikian, saya menjabat sebagai ketua para organisasi tertentu di dekat rumah. Sekitar 2 tahun menyentuh tubuh organisasi dan memperbaikinya, namun, masih ada saja pihak tak memihak, tragisnya mereka mengultimatum saya secara sir (baca: pelan), "Kamu yang ajak mereka....!" dengan muka berbentuk 0.
Biarkan Alloh membalas Anda. Karena bukan hak saya dalam perkara kekecewaan yang mendalam.
Surat tanpa kop pun, menjadi solusi saya.

Terhitunglah 2 surat saya selama ini: MENGUNDURKAN DIRI.

Akan tetapi, selau saja angin itu datang berembus "menyehatkan" hati yang gersang. Pihak solid itulah datang bersama saya, yaitu BUKU-BUKU pada lemari saya. Mereka-mereka menghibur saya di tengah kekecewaan dalam.
Saya merasakan bermanfaat sekali bersamanya, yang selama ini saya sibuk menjadiakannya tontonan dan kini saya harus mengatur buku itu dan kemudian meraih ilmu di dalammnya.
4 Agustus 2011
بارك الله فيك